Adalah Soedirman, seorang guru bersahaja kelahiran Purbalingga yang kemudian dengan segala ilmu, kerja keras dan tekad perjuangannya, di usia 31 tahun beliau diangkat menjadi jenderal dalam peperangan kemerdekaan Republik Indonesia. Usianya terbilang muda kala itu, bahkan Jenderal termuda yang pernah ada. Namun semua mengakui kedalaman ilmu, tekad dan kesahajaannya-lah yang menjadikan beliau layak menampuk jabatan itu.
Di tengah berkecamuknya perang kemerdekaan beliau termasuk penggagas dan penerap aplikasi perang Gerilya yang kemudian menjadi salah satu opsi strategi perang dunia. Walau kondisi kesehatan yang memburuk karena TBC, beliau mengatur strategi dan berjuang bersama menghadapi sekutu dan Belanda dalam berbagai pertempuran, dari perang Ambarawa hingga Agresi militer Belanda II di Jogjakarta.
Dan, di usia 34 tahun atau tepatnya tanggal 29 Januari 1950 beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Ya, waktunya memang sangat singkat, hanya 34 tahun beliau hidup. Namun karya dan jasa-nya menyejarah melewati rentang waktu biologisnya. Bahkan hingga kini, namanya masih harum.
Tak ada yang meragukan jasa dan perjuangan beliau, pemerintah kemudian menganugerahi dengan gelar pahlawan pembela kemerdekaan dan menyematkan bintang lima (Panglima Besar) padanya. Kemudian hampir di setiap belahan dunia menjadikan strategi perang gerilya yang di gagas beliau menjadi bahan ajar dalam salah satu materi perang tentaranya.
Dari kisah Panglima Besar Soedirman ini, memaksa kita memetik hikmah yang luar biasa. Hal yang mampu membuat kita flashback untuk menjiwai napak tilas perjuangan beliau.
Panglima Besar Soedirman telah membangun kepantasan yang hebat. Betapa kala itu di usia muda sudah diangkat menjadi Jenderal. Kita tentu meyakini, yang lebih tua pastilah ada. Namun mengapa beliau yang di amanahi untuk mengemban amanah berat itu? Tentu bukan sekedar ‘asal tunjuk’ saja. Ini bukti bahwa ke-ilmu-an dan visi beliau memegang peran, menyingkirkan faktor usia untuk menjadi pemimpin pasukan.
Beliau telah membangun ‘karier’ kepantasan jauh hari sebelum ditunjuk sebagai Jenderal. Melewati hari dengan tekad, kerja keras dan keilmuan yang terus menerus diasah. Sehingga ketika amanah itu datang, tiada berat menjalani karena sudah terbiasa melaluinya.
Setelah kepantasan, saat di amanahi untuk memimpin pasukan beliau menjalani semua harinya dengan tekad dan ketekunan yang tak pernah habis. Betapa kita sadari perjuangan kala itu bukanlah perjuangan mudah. Banyak keterbatasan, baik sumber daya, sumber dana apalagi persenjataan. Namun dengan tekad dan cita yang sama; Kemerdekaan, segala keterbatasan itu tidak lagi menjadi halangan. Terlebih untuk beliau yang menjadi teladan bagi para pejuang. Semangat itulah yang dialirkan ke seluruh pasukan, walau dalam kondisi kesehatannya yang terus menurun. Tekadnya tak luntur.
Konon, strategi perang gerilya lahir sebagai solusi untuk melawan para penjajah di tengah keterbatasan yang ada.
Sehingga dengan ‘modal’ di atas, beliau melalui waktu dengan karya sejarah di dalamnya. Ya, tersadarlah kita bahwa waktu biologis manusia memang terbatas. Namun kita di anugerahi oleh-Nya untuk dapat melahirkan karya yang mungkin akan dikenang orang lain hingga kadang sang empunya karya telah tiada puluhan tahun silam. Wallahu ‘alam.