“Di mana poskonya pak?”
“Di Lambaro”
“lho kenapa di Sana?”
“Emangnya kenapa pak ?”
“Disana kan markas GAM.”
Abu (sapaan akrab Abu Syauqi, Presdir Rumah Zakat Indonesia DSUQ) sedikit kecut mendengar kabar teresbut. Yang tebayang adalah galaknya mereka seperti yang selama ini dicitrakan media massa Indonesia. Kabar dari anggota TNI tersebut tak pelak membuat beberapa orang relawan Rumah Zakat Indonesia DSUQ rada miris. Tapi karena merasa tak ada masalah dengan keduanya, mereka akhirnya biasa-biasa saja.
Pernah suatu malam, Ahmad, salah seorang relawan Rumah Zakat Indonesia yang berada di Lambaro berbincang-bincang dengan seorang warga di sana :
“Kamu tidak takut berjalan di sini malam-malam ?”
“Tidak.., saya tidak takut dengan hantu, saya Cuma takut sama GAM (Gerakan Aceh Merdeka.red)”
“Saya GAM???”
Anda bisa bayangkan, ketika seseorang bertemu dengan yang dia takutkan.
“Tapi jangan takut, saya gak akan macem-macem sama kamu, kalau siang saya berjualan seperti masyarakat biasa, berbaur bersama mereka di pasar. Kalau malam baru saya beraksi. Malam ini kebetulan tidak ada aksi.” Tegas orang tersebut.
Ada cerita lain lagi tentang GAM. Pada suatu siang, posko Rumah Zakat Indonesia DSUQ di Lambaro kedatangan dua orang bersenjata lengkap tanpa atribut TNI, mereka minta diberi pengobatan pada luka-luka di badan mereka. Tim dokter sempat bingung “Ditolong jangan ya???.” Itulah mungkin yang terbersit dibenak para dokter. Naluri untuk menolong akhirnya menang. Maka mereka pun mendapat pertolongan dari tim dokter Rumah Zakat Indonesia DSUQ.
Jadi dalam kasus bencana seperti ini, bantuan kemanusiaan adalah bagi mereka yang terkena bencana. Terlepas dari urusan politik.