TIDAK PERNAH ADA KATA PENYERAH

oleh | Jun 23, 2011 | Inspirasi

oleh: Amir Karimuddin

Sudah bertahun-tahun saya memperhatikan orang itu. Seseorang yang selalu ada di jalur pulang kantor saya. Setiap malam dia nongkrong di lampu merah itu, setia menawarkan koran jajakannya. Umurnya mungkin tidak jauh berbeda dengan saya. Dia duduk di kursi roda, kedua kakinya sudah tiada karena amputasi. Entah kenapa, saya tidak pernah tahu jawabannya. Yang saya tahu, dari sorot matanya terpancar semangat. Semangat untuk hidup, semangat untuk bertahan di tengah belantara Jakarta yang kejam, semangat untuk membuktikan bahwa ketidaksempurnaannya tidak menghalanginya untuk berkarya. Bisa saja dalam hatinya menangis dengan kenyataan hidup yang ada, tapi yang jelas tidak tampak penyesalan itu setiap kali saya berhenti di perempatan yang sama.

Di dalam mobil saya merenung. Saya yakin bahwa upahnya menawarkan koran sore itu tidak seberapa. Saya lebih yakin lagi bahwa jika dia beralih profesi menjadi seorang peminta-minta uang yang diperolehnya pasti berkali-kali lipat jumlahnya. Namun, dia tidak pernah berubah, tetap teguh pendirian bahwa menengadahkan tangan di bawah dan menanti belas kasihan orang yang lewat bukanlah pilihannya.

Kembali saya menerawang pada cerita bahwa pengemis-pengemis di Jakarta itu ada sindikasinya. Ada skema besar di balik hadirnya mereka di pinggir jalan. Tua muda, perempuan dan anak-anak, masih sehat ataupun mengalami kekurangan fisik. Hampir semuanya berinduk pada orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mengharapkan rezeki dengan menjual rasa iba dan belas kasihan.

Entah berapa juta setiap hari uang dikumpulkan oleh sindikat ini. Semacam penipuan menurut saya. Bahkan saking geramnya pemerintah daerah DKI Jakarta membuat larangan memberi kepada orang yang meminta-minta seperti itu. Ceritanya bertujuan untuk mematikan “bisnis” ini. Tapi tetap saja banyak yang tidak setuju, melanggar Hak Asasi Manusia katanya. Akhirnya semuanya menjadi mental dan praktek seperti ini terus berjalan.

Pandangan saya kembali pada sosok yang tegar di tengah jalan. Tak kenal lelah menawarkan barang dagangan meskipun kendaraan lalu lalang kurang memberikan perhatian. Terima kasih kuucapkan padamu wahai teman yang tidak pernah kukenal. Saya mungkin selama ini kurang bersyukur dengan apa yang telah dirizkikan untukku dan orang-orang di sekelilingku. Seketika kumerasa malu. Malu akan betapa kecilnya kontribusi yang telah saya berikan untuk negara, demi membantu mereka untuk tidak terlantar di jalanan lagi.

Semoga saya bisa meneladani semangat Anda dan tidak akan mengenal kata menyerah untuk mencapai hidup penuh berkah dan bisa lebih memberi manfaat untuk sesama.

http://the.karimuddin.com

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0