[:ID]
“Anakku sering bicara sendiri, Bund. Rame banget! Seperti lagi ngobrol dan main. Duuh, jadi serem…”
“Masa Ditya mainnya sama kaleng bekas susu coba! Dikasih makan, dimandiin, sampe dibawa-bawa kalau kemana-mana…”
“Anakku beda lagi Bund, dia sekarang ga mau dipanggil namanya. Noleh aja engga. Pengennya dipanggil nama jagoannya, baru deh nyamperin...”
“Aduh Bund, serem banget. Masa anakku nunjuk di sana ada kakek-kakek baju putih. Sekalinya lagi pernah bertanya itu siapa yang ke dapur masuk ke lemari. “
Bingung campur seram sepertinya ya jika menemukan anak kita mengalami seperti yang di atas. Di satu sisi, kita ingin anak-anak kita tumbuh berkembang kapasitas intelektualnya. Pengetahuan yang mungkin banyak didapatkan oleh orangtua adalah usia dini merupakan saatnya perkembangan imajinasi. Ketika kejadian-kejadian di atas muncul disebabkan karena daya imajinasi anak, rasa kekhawatiran orangtua telah menghambat daya imajinasi anak jika mempermasalahkannya.
Namun di sisi lain sebagai seorang muslim, Rasulullah SAW juga pernah mengingatkan melalui haditsnya tentang gangguan jin pada anak. Yang tentunya setiap gangguan tidaklah akan baik untuk kita apalagi anak.
Lantas bagaimana kita melihat fenomena ini ketika terjadi pada anak? Apakah memang ada yang dinamakan teman khayalan? Apakah setiap anak mengalami hal tersebut? Dan apakah normal?
Teman khayalan tidak harus selalu terlihat dalam kejadian di mana anak seolah berinteraksi dengan sesuatu yang tak terlihat. Namun ketika anak “menyamar” menjadi karakter tertentu, seperti anak yang enggan dipanggil namanya kecuali nama superhero yang ia sukai misalnya. Hal ini juga termasuk dalam bentuk imaginary companion (teman khayalan).
Secara sederhana, imaginary companion atau yang sering disebut sebagai teman khayalan adalah teman yang “diciptakan” oleh anak, dibicarakan oleh anak, dan berinteraksi dengan anak. Setidaknya terdapat tiga bentuk imaginary companion ini. Pertama, teman khayalan yang tak terlihat. Bisa dalam bentuk orang, binatang, bahkan monster. Anak “menciptakan” teman yang tidak mewujud. Yang kedua, objek atau benda yang dipersonifikasi. Yaitu benda yang dibuat seolah-olah hidup oleh anak. Jadi anak “menciptakan” teman yang melekat pada sebuah benda. Bisa boneka, binatang, selimut, mainan kereta, bahkan kaleng susu sekalipun. Yang ketiga, anak “menyamar” menjadi karakter tertentu. Jadi, anak “menciptakan” teman yang lain yang karakternya melekat pada dirinya sendiri.
Penelitian menunjukkan bahwa umumnya fenomena teman khayalan ini muncul antara usia 3 – 8 tahun. Meski memang tidak semua anak mengalaminya, sebanyak 60% anak usia tersebut dalam penelitian menunjukkan memiliki teman khayalan dan tidak ada hubungannya antara tingkat intelektual anak dengan fenomena teman khayalan yang dialaminya.
Lantas apa manfaat yang bisa didapatkan oleh anak yang memiliki teman khayalan, padahal di lingkungannya terdapat teman-teman sebayanya?
Pertama, teman khayalan memberikan kesempatan pada anak untuk menggunakan kendali yang dimilikinya terhadap lingkungan. Sementara teman sebaya kadang merebut mainannya atau saling bertentangan pendapat saat bermain.
Kedua, teman khayalan bisa menjadi kambing hitam bagi kesalahan yang dilakukan anak. Atau juga mengekspresikan emosi yang membuat anak kurang nyaman ketika diperlihatkan pada orang lain. Misalnya, “Bubu (bonekanya) gak suka wortel! ”
Ketiga, teman khayalan membantu anak untuk membangun rasa aman dan nyaman, serta memberi kesempatan anak untuk menumbuhkan percaya diri dan keberanian. Misal, ketika anak takut ke kamar mandi, ia katakan pada teman khayalannya untuk tidak takut ke kamar mandi.
Keempat, tak jarang teman khayalan ini membantu anak menghadapi kondisi transisi. Misalnya saat memulai sekolah, saat memiliki adik baru, pindah rumah, dsb.
Kelima, membantu anak untuk mengekspresikan kreativitas dan mengembangkan imajinasi.
Kemudian apa yang dapat orang tua lakukan ketika mendapati anak ternyata memiliki teman khayalan? Nah, karena teman khayalan ini dapat membantu anak mengembangkan kreativitas serta imajinasi, sebagai orang tua justru kita dapat “memanfaatkan” situasi ini untuk mengeksplorasi kemampuan anak dan membantunya untuk lebih berkembang. Misalnya dengan bertanya secara detail teman khayalan yang dimiliki anak. Mungkin namanya, kesukaannya, kebiasaannya, orang tuanya, rumahnya, bajunya, dan sebagainya. Hampir sama seperti aktivitas story telling dan juga bermain peran, kemampuan yang dibutuhkan dan dikembangkan dalam menciptakan teman khayalan pun hampir sama.
Lalu orang tua pun tidak perlu menertawakan cerita anak tentang teman khayalan yang terdengar tidak masuk akal. Meski demikian, orang tua tetap perlu memberi batasan tentang teman khayalan ini. Misalnya, ketika anak menyalahkan teman khayalannya ketika air minum tumpah, orang tua perlu mengatakan “Sekarang Naila yang bersihkan ya, karena Bobo (teman khayalan) gak bisa bersihkan sesuatu yang terlihat seperti ini” Tidak perlu mengatakan, “Ngga, bukan Bobo (teman khayalan) yang menumpahkan, tapi Naila (anak tersebut)”
Batasan lain contohnya saat anak meminta makanan asli untuk teman khayalannya. Orang tua bisa menyediakan piring kosong namun sambil mengatakan, “Bobo makanannya juga yang ngga keliatan sama Bunda sayang. Ayo kira-kira makanan Bobo seperti apa sekarang?”.
Kabar baiknya adalah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki teman khayalan ini umumnya justru lebih mampu bersosialisasi dan cenderung tidak pemalu jika dibandingkan temannya yang lain. Dan jika orang tua khawatir terdapat hal lain selain teman khayalan yang membersamai anak dan malah justru mengganggunya, sungguh Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan dengan memberikan doa perlindungan bagi anak.[:]