Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu,
jika tidak dikerjakan maka berdosa. Zakat ini bahkan ada dalam rukun Islam,
tepatnya rukun Islam yang ketiga. Dalam berzakat, ada ketentuan dan aturan yang
perlu dipenuhi. Sehingga memang tidak bisa bebas ditunaikan seperti halnya
sedekah. Dalil tentang zakat ini ada dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. Berikut
beberapa dalilnya:
“Dan laksanakanlah
salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (Q.S. Al
Baqarah: 43).”
“Jagalah harta benda
kalian dengan zakat, obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah dan
siapkan doa untuk musibah.” (H.R. Thabrani, Abu Nuaim, dan Khatib).
Baca Juga: Bagaimana Cara Menghitung Zakat penghasilan?
Ada banyak jenis zakat yang diatur dalam Islam, yakni: zakat
emas dan perak, zakat hewan ternak, zakat pertanian, zakat perniagaan, zakat
temuan/rikaz dan barang tambang,
zakat investasi, zakat tabungan/simpanan, dan zakat profesi/penghasilan.
Lalu, bagaimanakah
hukum zakat untuk barang-barang yang tidak produktif? Apakah tetap dikenakan
zakat? Kalau iya, zakat jenis apa?
Barang-barang yang tidak produktif itu banyak macamnya. Bisa
berupa tanah, rumah, atau kendaraan. Sementara maksud tidak produktif di sini
berarti barang-barang tersebut artinya hanya dipakai sendiri untuk sebuah
keperluan dan bukan diperjual belikan seperti sebuah profesi.
Maka, menurut beberapa fatwa yang dilansir dari buku Fiqih
Praktis Sehari-Hari karya Farid Nu’man Hasan dikatakan bahwa barang-barang yang
tidak produktif tersebut tidak ada zakatnya. Maksudnya, harta-harta tersebut
tidak dikenakan atas zakat walupun misalnya jumlahnya banyak. Namun, apabila
misalnya tanah, rumah, atau kendaraan yang dimiliki itu disewakan atau
diperjual belikan sebagai sebuah profesi/usaha, maka dikenakan zakat
perniagaan/tijarah.
Akan tetapi, bila harta-harta tidak produktif itu dijual
untuk keperluan pribadi (misalnya menjual tanah untuk biaya pendidikan anak)
dan bukan karena profesi jual beli tanah, maka tidak ada kewajiban zakat
atasnya.
Ada beberapa fatwa berkenaan harta-harta yang tidak
produktif ini. Berikut fatwanya:
1. Fatwa dari Syekh Abdul Karim bin Abdullah
Al-Khudhair yang dikutip dari laman khudheir.com:
Tanah
yang dijadikan kebun tidak wajib untuk dizakatkan, kecuali jika tanah itu ingin
dibisniskan. Adapun jika tanah itu ditanam sesuatu, zakatnya adalah dari
tanaman itu atau dari penjualannya yang merupakan hasil dari tanah itu. Jadi,
tanah itu sendiri tidak ada zakatnya, dan baru ada zakatnya jika tanah itu
dimanfaatkan.
Jika pemanfaatan
itu memiliki hasil, itulah yang dikenakan zakat. Jika tanah itu memiliki
bangunan, misalnya, lalu ada keuntungan dari bangunan itu, zakat ditarik dari
keuntungannya dan bukan ditarik dari tanah, serta bukan pula ditarik dari
kontruksi bangunan.
Baca Juga: Adakah Larangan Berutang dalam Islam?
Sekali
lagi, zakatnya ditarik dari hasil (keuntungan) ini. Jika terdapat tanaman di
tanah itu, zakatnya ditarik dari hasil tanaman (misal buah, dan lain-lain), dan
demikian seterusnya. Jika di atas tanah itu didirikan sesuatu yang
diperdagangkan, zakatnya diambil dari hasil perdagangan barang itu, sedangkan
bangunannya tidak dikenakan zakat apa pun.
Zakat
hanya diambil dari keuntungan penjualan barang-barang dagangan yang ada. Ketika
keuntungan itu telah bertahan satu tahun (haul), barulah dikeluarkan zakatnya.
2. Fatwa Syekh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhhahullah
dari kitabnya Fighuz Zakah:
seandainya
seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri, seperti mobil yang akan
dikendarainya, dengan niat apabila mendatangkan keuntungan, ia akan menjualnya
nanti, ini juga bukan termasuk barang tijarah (tidak wajib zakat).
Ini berbeda
dengan jika seseorang membeli beberapa buah mobil yang memang untuk dijual dan
mengambil keuntungan darinya. Lalu jika ia mengendarai dan menggunakan mobil
itu untuk dirinya, ia menemukan adanya keuntungan dan menjualnya, apa yang
dilakukannya (memakai kendaraan itu) tidaklah mengeluarkan status barang itu
sebagai barang perniagaan.
Baca Juga: Tidur Setelah Subuh dan Asar dalam Pandangan Islam
Jadi,
yang jadi prinsip adalah niatnya. Jika membeli barang untuk dipakai sendiri, ia
tidak mengubahnya menjadi barang tijarah walaupun akhirnya ia menualnya (barang
itu) dan mendapat keuntungan. Begitu pun sebaliknya, jika seseorang berniat
mengubah barang dagangan menjadi barang yang ia pakai sendiri, niat itu sudah
cukup menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqih) untuk mengeluarkan statusnya
sebagai barang dagangan dan masuk dalam kategori milik pribadi yang tidak
berkembang (produktif). Wallohu’alam bishawab.