STANDARISASI PARAMETER MUSTAHIK

oleh | Sep 5, 2006 | Inspirasi

Oleh : Iman Sulaeman *

Menentukan seseorang termasuk fakir dan miskin terkadang menemui kendala. Pasalnya, parameter yang digunakan juga seringkali berbeda. Tak heran hal ini berimbas pula kepada lembaga amil zakat. Terutama dalam menyalurkan zakat kepada kedua golongan mustahik ini.

Bagaimana dengan Rumah Zakat Indonesia?
Pendekatan Alquran melalui ahli fikih, meminjam pendekatan yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), yang menetapkan standar kemiskinan berdasarkan pengeluaran terhadap konsumsi.

Kemiskinan diartikan sebagai kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, dapat pula mengadopsi konsep kemiskinan Bappenas sebagai strategic planner pemerintah. Dalam konsepnya mereka menyatakan bahwa kemiskinan memiliki wujud yang majemuk. Seperti rendahya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif, kelaparan dan kekurangan gizi, serta rendahnya kesehatan. Ditambah akses pendidikan dan layanan sosial lainnya yang terbatas.

Dengan demikian, standarisasi ini menjadi sebuah tinjauan yang menyeluruh. Bukan hanya dari sudut syariah, melainkan juga dari sudut pandang survei di lapangan. Standar ini merupakan panduan umum. Apabila terdapat kondisi khusus di suatu daerah maka penetuan mustahik, terutama fakir dan miskin, dapat disesuaikan dengan keadaan daerah tersebut.

Pada tahun 2002, masalah ini telah dibicarakan MUI di Cisarua, Bogor, Jawa Barat (Republika Oktober 2003). Dalam menetapkan fakir dan miskin, MUI merangkul berbagai mazhab meski yang lebih dominan adalah pandangan dari mazhab Syafii yang lebih sederhana dan cukup jelas.

Mazhab Syafii ini lebih memperhitungkan apakah harta milik atau usaha seseorang dapat memenuhi sebagian besar kebutuhannya. Jika harta milik atau pekerjaannya mampu memenuhi kebutuhannya hingga 50 persen atau lebih namun kurang dari 100 persen, maka disebut miskin. Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa penguasa perlu meneliti apakah seseorang berhak menerima zakat atau tidak. Ringkasnya pemerintah berhak meminta pembuktian dari seseorang apakah berhak atau tidak menerima zakat.
Berdasarkan itu, maka penting sekali keterlibatan pemerintah dari tingkat paling bawah seperti RT, RW maupun kelurahan untuk memberikan gambaran atau data orang-orang yang perlu mendapatkan zakat.

Pada akhirnya, semuanya bergantung pada kemauan bersama, baik pemerintah maupun lembaga amil zakat. Apabila kerja sama itu dapat berjalan dengan baik maka zakat dapat tersalurkan kepada mustahik yang tepat.

*Penulis adalah Newsroom & Media Officer Rumah Zakat Indonesia