Oleh: AM Adhy Trisnanto
Ketika euphoria sepakbola meredup, media ramai-ramai membicarakan harga cabe yang melangit. Konon mencapai Rp 100.000,- per kilo. Layar TV berkali-kali menggambarkan “penderitaan” rakyat yang terpaksa makan cabe busuk. Tak kurang masalah ini diangkat sebagai salah satu agenda sidang kabinet. Berita cabe bersaing ketat dengan berita pelesir Sony “Gayus” Laksono ke Kualalumpur dan Macau.
Informasi dan berita jadi bagian kehidupan masyarakat moderen. Bahkan orang bisa jadi maniak informasi. Dalam skala kecil, sampai skala besar. Dari urusan bete kejebak macet total, sampai issue pemakzulan. Makin seseorang “sadar” informasi, makin getol dia mencari, bahkan berburu, informasi. Informasipun jadi candu. Bisa malu kalau sampai tidak tahu artis ini hamil, atau cerai. Sampai malu kalau sampai tidak tahu issue BB dilarang, dan kenapa dilarang. Maka sumber-sumber informasi jadi memegang posisi stratejik. Diburu dan dipelototin khalayak. Media massa bisa mengubah putih jadi kelabu, bahkan hitam sekalipun. Membentuk pendapat umum, begitulah istilah kerennya. Menjadikan sebuah issue topik sentral dalam perbincangan sehari-hari orang. Beruntunglah kita, seandainya suatu topik penting dibahas secara serius dalam kadar pengetahuan yang memadai. Ada hasilnya, yaitu pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan. Malanglah kita, kalau kita terjebak dalam arus permainan pembentukan pendapat, digiring kepada sebuah konklusi, yang sebenarnya kita sendiri tidak paham-paham banget. Lagi-lagi, malu kalau dianggap tidak sadar berita. Simpang siur berita, susul menyusul, saling berkejaran, menyalip, merobohkan, menjadikan yang kemarin (bahkan, yang tadi) basi, bergegas-gegas masuk ke benak khalayak, benak kita.
Simpang siur. Kayaknya memang sudah meracuni perilaku sosial kita. Bukan cuma berita, tapi juga dalam aspek-aspek kehidupan lainnya. Coba perhatikan perilaku para pengguna jalan. Jalan sempit dipakai dua lajur mobil. Sisanya teramat sempit. Lalu terpaksa para pengendara motor meliuk-liuk mencari celah supaya tiba di tujuan tepat waktu. Mobil, motor makin banyak saja memadati jalan-jalan. Pertanyaannya, dimana hak para pejalan kaki? Jawaban yang benar mestinya ya trotoar. Malangnya, trotoar sudah berubah fungsi. Dijarah para pengendara motor yang beringas karena lebar jalan sudah dipenuhi mobil, bis, dan truk. Atau jadi lahan parkir, diseling tempat para pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Belum cukup itu semua, masih saja ditambah dengan pohon-pohon peneduh yang sering berbatang besar dengan akar-akar yang menjulur kesana kemari. Hanya ada beberapa jengkal jalan (di Jakarta) yang trotoarnya cukup lebar. Itulah surganya para pejalan kaki, yang bisa melangkah dengan aman tanpa takut terperosok lubang saluran tak bertutup.
Jadi, manusia urban (terutama) berlomba-lomba mempertahankan eksisensinya. Eksistensi yang payahnya lebih diukur oleh ikon-ikon duniawi: kemewahan, kenyamanan. Orang lalu berpikir pragmatis: masa depan (apalagi akhirat) tidak perlu terlalu diseriusi, yang penting hari ini; keselamatan bisa dibeli; kalau mau selamat, ya kita harus berani merebut hak kita. Sayangnya, hak itu ditafsirkan sebagai hak individu. Sikap, perilaku sosial jadi luruh, tersapu arus ”moderenisas”i yang menekan habis. Yang muncul adalah keangkaramurkaan individu.
Dalam potret buram seperti itulah saat ini kita berada. Lalu mari menggugat diri: tidak tergerakkah kita melakukan sesuatu untuk mengganti keburaman itu? Beranikah kita bergerak dan menggerakkan sekeliling kita? Atau kita cuma berhenti pada kesimpulan, yah memang jamannya sudah begini. Apa yang bisa saya lakukan karena saya cuma orang biasa. Padahal seseorang jadi luar biasa ketika apa yang dipikirkan, apa yang diniati, diusahakan dengan seriius untuk mewujud. Keluarbiasaan adalah urusan tindakan.