SETIAP KEMENANGAN MEMBUTUHKAN KESABARAN

oleh | Sep 14, 2011 | Sekitar Kita

Oleh: Yanuar Pradana

 

Suatu sore, seorang anak datang kepada ayahnya yang sedang membaca koran.

“Ayah, Ayah!” kata sang anak.

“Ada apa?” tanya sang ayah.

“Aku capek, sangat capek! Aku capek karena aku harus belajar mati-matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa mendapat nilai bagus hanya dengan mencontek. Kalau begitu, aku mau mencontek saja!”

“Aku juga capek karena aku harus terus membantu Ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu. Aku ingin kita punya pembantu saja!”

“Aku capek karena aku harus menabung, sedang temanku bisa jajan terus tanpa harus menabung. Aku ingin bisa jajan terus!”

“Aku capek, sangat capek, karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati.”

“Aku capek, sangat capek, karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedang teman-temanku seenaknya saja bersikap kepadaku.”

“Aku capek, Ayah, aku capek menahan diri. Aku ingin seperti mereka yang selalu terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka.” Sang anak mulai menangis.

Sedangkan sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata, ”Anakku ayo ikut Ayah, Ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu.” Lalu sang ayah menarik tangan anaknya. Mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, berduri, banyak serangga, berlumpur dan penuh dengan ilalang. Sang anak pun mulai mengeluh.

”Ayah mau kemana kita? Aku tidak suka jalan ini. Sepatuku jadi kotor, kakiku juga luka karena tertusuk duri. Badanku dikelilingi oleh serangga dan berjalanpun susah karena terhalang oelh ilalang. Aku benci jalan ini, Yah..”
Sang ayah hanya diam. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah telaga yang sangat indah. Airnya sangat segar, ada banyak kupu-kupu dan bunga-bunga cantik, serta pepohonan yang rindang.

“Waaah…! Tempat apa ini, Yah? Aku suka berada di tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.

“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping Ayah.” Ujar sang ayah. Sang anak pun menurut. Ia ikut duduk di samping ayahnya.

”Anakku, tahukah kau mengapa tempat ini begitu sepi, padahal di sini begitu indah?”

”Tidak tahu, Yah, memangnya kenapa?”

”Itu karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tahu ada telaga di sini. Tetapi kebanyakan mereka tidak bersabar dalam menyusuri jalan jelek tersebut.”

”Kalau begitu berarti kita termasuk orang yang sabar ya, Yah?”

” Nah, akhirnya kau mengerti.”

“Mengerti apa? Aku tidak mengerti.”

”Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran dan butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan. Seperti halnya jalan yang tadi.”

“Bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar saat harus melewati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi banyak serangga. Namun, akhirnya semuanya terbayar, kan? Ada telaga yang sangat indah. Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapatkan coba? Kau tidak akan mendapat apa-apa anakku.”

”Tapi Ayah, tidak mudah untuk bersabar…”

”Aku tahu, oleh karena itu, ada Ayah yang akan selalu menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat. Ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu kembali. Tapi ingatlah anakku, Ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh. Suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Karenanya, jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain.”

“Jadilah dirimu sendiri. Seorang pemuda muslim yang kuat, yang akan tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu ada Allah di sampingnya. Tetaplah tegak berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang. Karena di sana ada surga yang setia menanti.”

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0