oleh: Sri Mulyani
Pernahkah kita berpikir, merenung, dan membayangkan jika suatu hari, di tengah-tengah kesibukan beraktifitas dan memainkan peran yang beragam, sebagai pelajar, mahasiswa, guru, karyawan, orangtua, anak, da’i, anggota masyarakat, sahabat, dan terutama sebagai hamba Allah kita mengalami peristiwa ini. Di saat-saat kita berinteraksi dengan dakwah, berusaha mengecap manisnya perjuangan, indahnya ukhuwah, nikmatnya bersabar, atau bahkan merasakan beratnya ujian, letihnya pengorbanan, berhadapan dengan hawa nafsu yang terus mengekang dan setan-setan yang melemahkan kita didatanginya. Ketika dunia bertabur hiasan di hadapan, harta yang kita miliki, kekuasaan yang kita daulati, pujian, ketenaran, orang-orang yang kita cintai, ternyata itu adalah detik-detik terakhir kita di dunia. Walau angan panjang membentang, walau cita luas tak terbatas, perpisahan tetap harus terucapkan. Saat itu jasad kita dikunjungi (ta’ziah), dimandikan, dikafani, disholatkan, dan diantar oleh sahabat-sahabat kita, keluarga kita, ayah, ibu, saudara, adik, kakak, paman, tante, sepupu, saudara seperjuangan, rekan sehalaqoh, murobbiyyah, akhwat dan ikhwan seperjuangan.
Ketika jasad telah kembali ke bumi, saat tanah-tanah mulai tertumpuk menindih, akan ada banyak ucapan yang terlontarkan oleh para pengantar kita. Orangtua kita kan berkata, “Nak! Kami bangga memiliki putri seperti dirimu. Ya Allah, jadikan putri kami ini sebagai permata yang akan menolong kami di padang mahsyar, di yaumul hisab, berkat keshalihannya, berkat ibadahnya, sesungguhnya kami ikhlas dan ridho akan kehadiran dan kepergiannya”.
Sahabat terdekat kita berucap, “ukhti sesungguhnya sebuah anugerah yang sangat besar bagiku ketika Allah menentukan aku sebagai sahabatmu. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama di surga-Nya”.
Rekan dan saudara seperjuangan kita berkata,”ukhti, anti telah mendahului kami pergi menyusul para pendahulu kita Rasulullah SAW, shahabat, shahabiyah, Khadijah ra, Aisyah ra, Ummu ‘Ammar ra, Asma’ binti Abi Bakar ra, Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Musthofa Mansyur. Sungguh kepergianmu menjadi ujian bagi dakwah ini, takada lagi tausiyah yang terucap, takada lagi semangat yang menyemangatkan. Seandainya janji Allah SWT takbenar, pastilah kami meninggalkan jalan dakwah ini. Ukhti, semoga kami dapat melanjutkan perjuangan ini dan menjumpai kekasih tercinta, Rabbul ‘alamin”.
Tokoh-tokoh masyarakat di sekitar kita mengucapkan, “Aduh, semoga Allah SWT menentukan untuk menghadirkan putri-putri seperti dirimu lagi, yang ikhlas, yang rajin, yang menebarkan manfaat bagi sekelilingnya”. Tentu berbahagialah diri ini, perjuangan kita berhasil, rahmat Allah SWT kan menaungi.
Namun, itu hanya satu kemungkinan. Bukan hal yang mustahil jika kejadian sesungguhnya jauh dari angan-angan kita. Ketika jasad itu masuk ke peristirahatan terakhir, orangtua kita berucap, “ya Allah, ampuni hamba ini yang gagal menunaikan amanah yang Engkau titipkan. Putri yang kami lahirkan hanya menjadi beban kehidupan kami, kata-katanya menyakitkan, perilakunya mendurhakai. Ya Allah, kami menyesal telah melahirkan dan mengasuhnya”. Sahabat kita berkata, “sayang, masih muda tetapi sudah meninggal, mungkin memang lebih baik kamu tidak ada, bersahabat denganmu bagaikan bersahabat dengan pandai besi”.
Saudara seperjuangan kita berkata, “alhamdulillah, memang Allah pasti akan menyeleksi orang-orang yang tidak layak berada di atas jalan dakwah ini. Ukhti, sebenarnya kami berharap padamu, tetapi tindakanmu terlalu menyakitkan, ketika rapat kau mau menang sendiri, ketika bertugas kau hanya memerintah, ukhuwah kau artikan dengan meminta-minta. Kami berlepas diri dari keadaanmu”. Tokoh masyarakat kan berkata,”suatu saat, sampah-sampah masyarakat memang akan terhapus dengan sendirinya”.
Bahkan mungkin, ketika nafas terakhir terhembus, tidak ada yang peduli terhadap kita, tidak ada rekan-rekan seperjuangan yang men-ta’ziahi kita. Saat itu kita bertanya, “kemana saudara-saudara saya? Kemana murobbiyah saya? Kemana ikhwan dan akhwat yang biasa rapat dengan saya?” Kita bingung dan tidak sadar bahwa kehadiran kita hanya menjadi masalah bagi dakwah ini. Kita tidak sadar bahwa kita tidak diharapkan! Bahkan, ketika kita dihadapan Sang Khalik, kita bingung karena tidak melihat amal shalih kita. Kita bertanya, kemana tilawah saya? Kemana dzikir saya? Kemana jihad saya? Kemana amal perjuangan saya? Hasil letih saya? Hasil lelahnya rapat? Kemana Qiyamul Lail saya? Kemana?” Ternyata semua itu terbakar oleh riya’ dan ujub! Namun, sekali lagi, itu hanya satu kemungkinan. Segalanya masih dapat kita tentukan sekarang.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah SWT dan kepada kebenaran yang telah turun. Janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik,”(QS. 57:16). Rosulullah SAW bersabda, “orang yang paling cerdas diantara kalian adalah yang paling sering mengingat dan mempersiapkan kematiannya” (Hadits).