Oleh : Asep Mulyadi
Sesaat memasuki pintu gerbang masjid udara segar dan dingin dari ruangan ber-AC mulai terasa, mataku terbelalak melihat kemegahan interior Masjid yang penuh dengan marmer yang pertama kali Aku memasukinya. Keharuan, kekaguman dan kegembiraan bercampur mengiringi langkahku menuju ruangan depan Raudhah sambil tak henti mataku menatap bagian kiri, kanan dan atas masjid.
Kuayun tanganku sambil mengagungkan dan membesarkan Asma Allah, Takbiratul Ihram sebagai awal qiyamul lail mulai dilakukan, sepanjang shalat hingga salam terakhir tak henti kuagungkan Allah SWT melalui bacaan-bacaan shalat dan do’a, sambil sesekali air mataku tak terasa menetes mengakui kekhilafan yang pasti telah kulakukan.
Pagi menjelang siang agenda ziarah siap dilakukan mulai dari Masjid Quba yang merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah, Jabal/gunung Uhud yang merupakan saksi sejarah bagaimana kesudahan ketika sebagian orang dari team sudah tidak mentaati pimpinan serta mulai tergiur dengan godaan (harta ghanimah), Masjid qiblatain, sebuah masjid yang menjadi saksi bisu ketaatan para sahabat terhadap perintah Allah yang harus saat itu pula mengalihkan qiblatnya dari Menghadap Masjidil Aqsha ke masjidil Haram serta Khandak yang merupakan napak tilas terhadap kepiawaian Salman Al Farisi dalam melakukan strategi perang.
Semua tempat yang dikunjungi menjadikan ibrah untuk lebih menghayati makna akan perjalanan Rasulullah dan para sahabatnya.
Sisa waktu di Madinah tak sedikitpun dibiarkan kecuali didalamnya di manfaatkan untuk terus bersimpuh di Masjid Nabawi baik untuk berdzikir, membaca Al qur’an, shalat sunnat dan tak lupa setiap keluar dari mesjid Nabawi menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Rasulullah, makam Abu bakar yang memang bersebelahan dengan raudhah.
Siang hari setelah shalat Dhuhur dan melaksanakan makan siang, semua barang sudah siap untuk diangkut ke bagasi, begitupun persiapan diri untuk melaksanakan Umrah menuju Makkah sudah dilakukan.
Sesampainya di Masjid Bir Ali, ratusan orang sudah siap dengan pakaian Ihram, ketika awal menggunakan kikuk juga rasanya, betapa tidak karena kita hanya dibolehkan menggunakan 2 helai kain tak berjahit.
Teriknya panas matahari dengan 42oC tak menyurutkan orang terus menerus keluar masuk masjid Bir Ali silih berganti untuk melakukan shalat 2 rakaat sambil niat mulai Umroh lengkap dengan pakaian ihram.
Perjalanan menuju Mekah ditempuh sekitar 5 jam, sehingga sesampainya di hotel NEW SAFA HOTEL Makkah sudah sekitar jam 20.30 yang bertepatan waktu itu dengan ramai dan berduyun-duyun masyarakat secara serentak baik pedagang maupun para tamu hotel pergi ke Masjidil Haram untuk melakukan shalat Isya. Kamar di Makkah rasanya tidak senyaman dengan hotel yang ditempati di Madinah, tapi jarak yang lebih dekat antara hotel dengan Masjidil Haram mampu menutupi kekecewaan tersebut. Aktivitas di hotel hanya check in dan penyimpanan barang-barang saja, karena para jamaah sudah sepakat untuk langsung berkumpul kembali di lobby hotel untuk melaksanakan thawaf dan sa’i di masjidil haram dan sekitarnya.
Kemegahan masjidil haram sudah terasa sejak keluar dari hotel menuju pintu “babussalam”. Seluruh ketinggian bangunan masjid terbalut marmer “ala itali”, tak redup oleh tingginya hotel-hotel serta istana raja yang mentereng di samping kiri arah menuju “babussalam”. Sepanjang kiri kanan para muslimah yang menutup aurat dan laki-laki dari berbagai bangsa lalu lalang keluar masuk masjil Haram membuat suasana makin berdebar dan memperkencang langkah untuk segera masuk pintu Masjid. Sesaat melihat ka’bah kulantunkan doa.
“Semoga Allah tetap memuliakan Ka’bah dan orang-orang yang memuliakan ka’bah” gumamku dalam hati.
Pukul 11.30 ribuan orang tetap melakukan Thawaf, sa’i atau berdzikir dan membaca Al qur’an.
“Ya..Allah puluhan tahun selama ini aku hanya melihat hamba-hamba-Mu melakukan thawaf dan bersimpuh serta terus mengagungkan nama-Mu di tempat yang Kau muliakan ini, berpuluh tahun aku merindukan untuk mendapat panggilan-Mu ke tempat ini, Alhamdulillah… saat ini aku sambut panggilan-Mu Ya.. Allah.” mulutku terus komat kamit.
Gambaran perjuangan, hidup dan pengorbanan Nabiyullah Ibrahim bersama siti Hajar dan Ismail yang spektakuler terus tergambar selama pelaksanaan thawaf dan sa’i membuat hilang rasa lelah, pegal dan rasa marah akibat desakan orang-orang yang ingin bersegera mencium hajar aswad dan menyentuh pintu ka’bah.
Di multazam seluruh jamaah bersimpuh sambil sesekali menderaikan air mata untuk memohon ditetapkan akan hidayah, bersyukur atas berbagai ni’mat, memohon ampunan, serta setumpuk berbagai permasalahan dan keinginan yang seluruhnya diadukan kepada Allah SWT.
Plong rasanya setelah tuntas melaksanakan thawaf dan sa’i yang dilanjutkan dengan tahallul berupa pemotongan beberapa helai rambut, untuk kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat mengembalikan tenaga dan stamina untuk kegiatan esok hari.
Istirahat hanya sekitar 2 jam, aku tidak mau ketinggalan shalat Qiyamul lail dan shalat subuh berjamaah di Masjidil Haram, dengan bergegas segera kuambil air wudlu dan dengan setengah berlari aku menuju Masjid. Kulihat ribuan orang kembali sudah bersimpuh laki-laki dan perempuan terpisah hanya menggunakan rak al quran yang terpajang sebagai batas, Para bapak yang berpakaian putih yang sebagian menggunakan kain penutup kepala dengan asyik membawa dan membimbing para anaknya, sementara para muslimah yang berpakaian cukup rapih menutup aurat dengan warna yang dominan hitam atau putih yang sebagian dibalut dengan kerudung berupa sehelai kain panjang yang kadang bercorak bunga menambah keanggunan dan kekhusyuan mereka melaksanakan shalat serta riuh rendah suara mereka membaca Al Qur’an. Sisa waktu seusai berdzikir kumanfaatkan untuk melakukan thawaf kembali dan kali ini kulakukan di lantai 2, agak panjang memang jarak putarannya namun lebih leluasa.
,br>
Ada beberapa tempat di Makkah yang diziarahi untuk napak tilas perjuangan dan da’wah Muhammad Rasulullah SAW, diantaranya ke masjid Tan’im/ Aisyah, Gunung Tsur tempat singgahnya Rasulullah dan Abu bakar dalam perjalanan hijrah menuju Madinah, Padang Arafah yang sekarang fasilitas air, toilet dan tetumbuhan sudah menghijau yang akan sedikit mengurangi kelelahan dan teriknya udara panas, Jabal Rahmah yang konon tempat dipertemukannya kembali antara Adam dan Hawa setelah mendapatkan ujian akibat tergoda oleh syetan untuk makan buah Khuldi, serta Jaronah sekitar daerah dilakukannya lempar jumrah saat musim haji tiba.
Untuk kembali ke tanah air, mesti melalui kota jeddah, rombongan pun berangkat menggunakan bus yang di tempuh dalam waktu sekitar 1 jam. Sepanjang perjalanan yang ada hanyalah pegunungan batu tajam dan padang pasir, terbayang bagaimana kuatnya fisik Rasulullah SAW dalam berda’wah. Ketika mendekati kota Jeddah rumah-rumah penduduk dan bangunan lain mulai tampak, namun sayang seperti kurang dalam pemeliharaan dan perawatan kota, sampah-sampah berserakan di kiri kanan jalan, trotoar dan pembatas jalan yang dibiarkan hancur seperti tidak ada yang bertanggung jawab untuk mengelolanya, mobil-mobil walaupun mewah tapi berdebu bagaikan tidak pernah di cuci atau paling tidak di lap dan di sapu, tanaman penghias kota yang sebagian sudah meranting karena kurang teratur dalam penyiraman, padahal aku yakin dana yang tersedia untuk mengantisipasi itu semua sangat mungkin dan ada cuman ada atau tidaknya kemauan dan kesadaran dari para pengelola dan masyarakatnyalah yang membuat pemandangan seperti itu terjadi.
Holiday inn hotel merupakan hotel tempat transit di jeddah, lebih mewah memang namun saat mulai ku “on-kan” pesawat TV rasa sesak dan kekesalan yang tertahan ini mulai terasa, karena beragam channel dan tayangan TV, yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan tata aturan budaya apalagi dengan norma agama sebagaimana terjadi di indonesia bahkan di beberapa channel lebih parah secara bebas menjadi konsumsi masyarakat jeddah pada khususnya.
Itulah mungkin sebagian cara “makar” orang-orang “kafir” menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat islam berjalan pelan-pelan bagaikan sebatang jarum panjang yang menusuk padang pasir tak terasa makin lama makin dalam. Dan makar orang-orang kafir itupun terjadi ketika bertemu dengan para penguasa dan pengambil kebijakan lokal/ setempat yang tergiring oleh gemerlapnya tipuan harta, tahta dan wanita. Di Indonesia channel TV untuk konsumsi publik masih dibatasi dengan TV lokal, bahkan tayangan dari negara ASEAN pun yang kukira masih serumpun dalam hal budayanya masih belum dibebaskan dalam regulasinya. Bagaimana bisa terjadi di kota yang merupakan pintu gerbang 2 kota suci Makkah dan Madinah tayangan TV bisa dibebaskan. Kegeraman ini makin menjadi ketika mendengar bahwa di sekeliling kota jeddah sudah banyak lokalisasi pelacuran, Naudzubillah.
“Ya… Allah lindungilah negeri-negeri Islam dan generasi muslim dari tipu daya dan persengkongkolan jahat musuh-musuh-Mu! “hatiku menjerit tak berdaya.
Tiket dan pasport satu persatu mulai di periksa di bandara jeddah, waktu menunjukkan pukul 21.00 saat dilihat di “boarding” pesawat Garuda tujuan Jakarta “take off” pukul 02.30.
“Masya Allah… berarti aku dan rombongan mesti menunggu lebih dari 5 jam.”hatiku tak kuasa menahan kekecewaan.
Bandara Internasional Jeddah yang sempit dengan pelayanan yang sangat kaku dan tidak ramah sungguh jauh dari citra yang Islami.
“Kalau saja tidak ada 2 kota suci, Makkah dan Madinah tempat Umat Islam seluruh dunia melakukan Ibadah Haji dan Umroh, bisa jadi daerah Arab (Jeddah) sudah ditinggalkan dan banyak para pendatang yang kecewa untuk tidak kembali lagi ke sini” Gumamku berandai-andai.
Kucari tempat pojokan sempit, kugelar kain sarung, kusisipkan tas sendal sebagai bantal, kuambil ancang-ancang. Alhamdulillah selama 2-3 jam-an aku dan sebagian jamaah bisa tertidur disela-sela suara gaduh bandara, sampai tiba waktunya untuk “take off” kembali ke tanah Air tercinta.
Selamat datang tanah tercinta, negeri subur makmur penuh kehijauan dengan temperatur rata-rata udara yang nyaman, air mengalir dimana saja.
“Yaa… Allah masukkanlah Kami kedalam golongan orang-orang yang bersyukur”……….
Asep Mulyadi
Direktur Rumah Aqiqah
Tinggal di Bandung.