[:ID]Oleh: TGH Habib Ziadi
Dikisahkan bahwa seseorang datang menasihati khalifah al-Makmun dengan cara yang lantang dan tidak santun. Khalifah lalu menimpalinya.
“Orang yang lebih baik darimu pernah datang memberi peringatan kepada orang yang lebih buruk dariku. Sesungguhnya Nabi Musa dan Nabi Harun Alaihiwassalam diutus Allah kepada Firaun dengan seruan, ‘Maka berkatalah kepadanya (Firaun) dengan qaulan layyinan (ucapan yang lembut).'” (QS Taha [20]: 44).
Nasihat dalam hidup ini sangat diperlukan. Dengan nasihat, seseorang bisa mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan, apa kekurangan, dan bagaimana seharusnya. Seseorang membutuhkan saran dari orang lain agar menjadi lebih baik. Sebab, manusia tidak bisa melakukan apa pun sendiri, melainkan butuh nasihat, saran, atau masukan dari orang lain.
Dalam menasihati seseorang hendaklah memilih bahasa yang santun dan lembut. Sering kali orang menggunakan kalimat yang tidak tepat lagi berintonasi tinggi dalam menegur orang lain. Hal ini tentu memberi kesan tidak baik. Menasihati berbeda dengan marah-marah meski tujuannya kadang sama.
Nasihat dengan menggunakan bahasa yang kasar, nada meninggi, sikap tidak santun, dan terkesan menantang debat otomatis tidak akan mudah diterima oleh orang yang dinasihati meski kesalahannya itu nyata dan benar adanya. Kesantunan berbahasa dan kearifan sikap sangat berpengaruh diterima atau tidaknya nasihat itu. Jadi, pemberi nasihat harus cerdas memilah dan memilih bahasa yang tepat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziah menyebut perbedaan antara menasihati dan mempermalukan. Menurut beliau, menasihati itu berlaku adil dan ihsan kepada yang dinasihati, menampakkan kasih sayang kepadanya, tidak sudi melihat saudaranya melakukan kesalahan. Niatnya hanya mencari keridhaan Allah. Dia berlaku layaknya seorang dokter yang mengetahui sakitnya pasien lalu menentukan obat yang tepat agar pasiennya lekas sembuh.
Adapun mempermalukan seseorang itu niatnya mengubah sambil menghinakan, mencela orang yang diperingatinya. Celaannya berbentuk nasihat. Dia berkata padanya, “Hai engkau, mengapa berbuat begini begitu? Hai, celaka engkau, tercelalah dirimu,” sambil pura-pura menasihati.
Di antara adab memberi nasihat, hendaklah ketika menasihati ia dalam keadaan sendirian. Sebab, barang siapa yang menutupi kesalahan saudaranya, Allah akan menutupi kekurangannya di dunia akhirat.
Ini perkara sulit karena semua menyadari jika menasihati di hadapan banyak orang maka pemberi nasihat akan terlihat pintar, arif, dan ahli, tetapi orang yang dinasihati tentu merasakan hal berbeda. Dia pasti merasa malu, tidak enak, bahkan mungkin dongkol.
Berkata Imam as-Syafi’i, “Barang siapa menasihati saudaranya secara rahasia, maka ia telah benar-benar menasihatinya dan memuliakannya. Dan siapa yang menasihatinya secara terang-terangan, maka ia telah menistakan dan memalukannya.”
Seseorang itu harus siap dipuji dan sebaliknya siap pula diberi masukan atau dikritik sekalipun. Bila pujian itu sering subjektif dengan menyebut kebaikan yang kadang dilebih-lebihkan, teguran atau kritikan itu adalah menyampaikan kekurangannya, kesalahannya, baik sikap maupun tata cara. Dengan itu dia bisa memperbaiki diri. Bisa meminimalkan kekeliruannya dengan tidak mengulang lagi di kemudian hari.
Demikianlah, menasihati itu adalah anjuran agama. Itu juga bagian dari amar makruf nahi mungkar. Kepedulian seseorang dengan datang menasihatinya menandakan kasih sayang pada saudaranya.
Kesiapan menerima masukan adalah tanda kebesaran hati dan jiwa penerima nasihat. Bahkan, ia pun akan berdoa, “Semoga Allah merahmati dan membalasmu dengan kebaikan karena nasihatmu padaku menunjukkan kekuranganku.”
sumber: republika.co.id[:en]By: TGH Habib Ziadi
There is a story told that someone came to advise the Caliph Al-Ma’mun in a loud and impolite way. The Caliph then replied.
“Someone who is better than you have once come to warn those who are worse than me. Indeed, the Prophet Moses and the Prophet Aaron, Alassiwassalam, was sent to Pharaoh with the saying, ‘And speak to [Pharaoh] with qaulan layyinan (gentle sayings) that perhaps he may be reminded [Allah]” (QS Taha [20]: 44).
Advice in life is necessary. With advice, someone can find out what should be done, what their shortcomings are, and how they should be. Someone needs advice from others in order to become better. Because humans cannot do anything by themselves, we need a guide or a piece of advice and input from others.
In advising someone, one should choose a polite and gentle language. Often people use sentences that are no longer appropriate and have a high sense of in rebuking others. This certainly gives a bad impression. Counseling is different from being angry even though the purpose is sometimes the same.
Giving advice by using abusive or harsh language, heightened tones, impolite attitudes, and seemingly challenging automatic debate will not be readily accepted by the person being advised, even though their point may be real and true. The politeness in choosing your words and attitude you convey are very important in influencing whether or not the advice is accepted. So, the adviser must be smart to sort and choose the right words.
Imam Ibn Qayyim al-Jauziah mentions the difference between advising and shaming. According to him, advising is fair and charity to those who are admonished, showing affection to him, not willing to see his brother make a mistake. His intention is only to seek happiness of Allah. He should act like a doctor who knows the patient’s illness and then determines the right medicine in order for his patient to get better quickly.
As for humiliating someone, his intention is to change him while humiliating him. Reproaching the person as if warning him and criticizing him all in the form of advice. The adviser saying, “O you, why do you do such things? Hi, you are being stupid, don’t dishonor yourself,” while pretending to advise.
The adab (manner) in giving advice, is to advise when alone. Because, whoever covers the mistakes of his brother, Allah will cover his shortcomings in the afterlife.
This can be difficult because when giving advice in front of many people, the adviser would look smart, wise, and seem like an expert, but the person being advised certainly feels different. He must have felt ashamed, uneasy, maybe even annoyed.
Imam as-Shafi’I said, “Whoever advises his brother in secret, then he has truly advised him and glorified him. And whoever advised him openly, he has defamed and shamed him.”
A person must be ready to be praised and on the contrary ready to be given input or even criticized. If praise is subjective by mentioning the good which sometimes is exaggerated, the reprimand or criticism is to convey the shortcomings, mistakes, of both attitudes and manners. With that, he can improve and can minimize mistakes by not repeating it again.
Therefore, advising is a religious suggestion. It is also part of amar ma’ruf nahi munkar. When a person comes and gives him advice, it is an indication of affection for his brother.
Readiness to receive input is a sign of the heart and soul of the recipient of advice. In fact, he will pray, “May Allah bless you and repay you with kindness because your advice shows my shortcomings.”
Source: republika.co.id[:]