[:ID]Melalui karya bertajuk An Nahjah As Sawiyyah fi Al Asma’ An Nabawiyyah, tokoh bernama lengkap Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq Al-Khudhari As-Suyuthi tersebut.
Suyuthi yang disebut-sebut oleh sejarawan Ibn Khalikan sebagai sosok yang produktif menulis—konon karya Suyuthi mencapai ribuan buku dengan beragam topik dan disiplin ilmu—mengatakan bahwa sebagian besar nama tersebut sebenarnya merupakan representasi dan manifestasi dari sifat dan karakter pribadi Rasulullah.
Karena itu, An Nawawi dalam kitab Tahdzib Al Asma’ berpendapat, pemaknaan beberapa nama itu mesti merujuk pada peristiwa dan kejadian yang melatarbelakangi nya. Jika merujuk pada fakta ini, Ibnu Asakir berpandangan dalam kitab Al Mubhamat bahwa jumlah nama-nama yang diintisarikan bisa sangat beragam dan banyak.
Selanjutnya, Suyuthi yang lahir di Kairo, 1 Rajab 849, menegaskan bahwa dari sekian nama, Muhammad adalah panggilan yang paling dikenal. Nama ini diberikan oleh sang kakek, Abdul Muthallib, usai akikah dengan menyembelih satu ekor kambing. Saat ditanya, mengapa cucunya diberi nama Muhammad dan bukan nama nenek moyangnya, sang kakek yang memiliki nama julukan Abu al-Harist itu menjawab, ia ingin cucu kesayangannya itu dipuji oleh Allah di langit dan disegani lalu diteladani umat manusia yang hidup di bumi.
Mengutip perkataan Al- Qadhi ‘Iyadh, Suyuthi yang bermazhab Syafii itu mengatakan, kedua nama yakni Muhammad dan Ahmad termasuk salah satu tanda kebesaran Allah sekaligus keistimewaan bagi Rasulullah. Allah berkehendak dan menggunakan kuasa-Nya untuk menjaga kedua nama tersebut. Sebelum Rasulullah lahir, tak ada satu pun orang Arab yang menggunakan nama itu.
Hal ini tak lain dimaksudkan untuk menghindari kekacauan dan timbulnya keraguan terhadap sosok Muhammad, terutama saat pengukuhannya sebagai nabi dan rasul. Bisa dibayang kan bagaimana jadinya jika kedua nama itu adalah nama yang lumrah atau “pa saran”. Al Qadhi ‘Iyad menambahkan, pemakaian nama itu muncul tak lama setelah tersiar kabar seorang rasul akan diutus di Tanah Arab. Mereka berharap, dengan memberikan nama tersebut, rasul yang sedang menjadi perbincangan itu ialah salah satu dari mereka.
Suyuthi kemudian menguraikan nama-nama lain dari Rasulullah, antara lain, Al-Abyadh yang berarti sosok yang berkulit putih. Sebutan lain bagi Rasulullah ialah Al-Aghar (sosok paling tepat). Kata ini muncul dari syair Hasan bin Tsabit. “(Figur) tepat atas pe nutup kenabian, dari Allah dari cahaya yang memancar dan bersaksi.” Ada pula nama al-Ashdaq, disematkan ke Rasulullah berdasarkan Ibrahim bin Mu hammad, salah satu putra Ali bin Abi Thalib. Ibrahim menyebut Rasulullah adalah sosok dengan gaya bahasa dan dialek yang lurus (al- Ashdaq).
Ada pula penamaan yang merujuk pada kitab tafsir. Di antaranya ialah nama Al- Ahsan. Nama itu disebutkan oleh Abu Hafsh An Nasafi di kitab tafsirnya saat menguraikan makna dari ayat, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata, ”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS Fushshilat [41] : 33). Ia mengatakan, yang dimaksud ayat ini ialah Rasulullah, figur pilihan yang paling dicintai Allah di muka bumi, serta sosok yang mengajak segenap umat menunju jalan-Nya.
Masih banyak lagi nama-nama Rasulullah yang kurang akrab di telinga sebagian umat, seperti Al- Ajwad (paling dermawan), Asyja’unnas ( paling pembe rani), Abu al-Qasim, Imam, al-Iklil, Al-Bayan (penjelas), At Tali (datang belakangan), At Tadzkirah (pengingat), Tsanits nain, Habiburrahman, Habibullah, Murtadha, Murtaji, An Nashib, An Na syir, Yasin, al-Yatsribi, dan lainnya.
[:]