Oleh: Rahmat Ali Hakim
Profesional di bidang Energi – PHE ONWJ
Suatu siang saya melihat penjual buah mangga dan merasa iba karena dia sudah renta. Pak Tua menjajakan mangga dengan sebuah sepeda onthel. Saya beli 2 kg mangga dengan niat membayar dan tidak terlalu peduli rasanya. Ketika saya memilih mangga, beberapa kali dia koreksi dan merekomendasikan buah lain yang katanya lebih manis. Sampai di rumah, ternyata benar semua mangga itu manis pohon (bukan karbitan). Tanpa promosi, tanpa brand, tapi saya puas. LUAR BIASA!
Ide Re-branding di Rumah Zakat Indonesia
Setahun lalu saya mendengar berita bahwa Rumah Zakat Indonesia (RZI) akan melakukan re-branding. Beberapa bulan kemudian saya diajak untuk berpartisipasi dalam proses tersebut sebagai sumber eksternal. Kalau dalam istilah marketing, saya diikutkan dalam market first direct research yang tujuannya sought stake holder opinions. Jadilah kemudian saya diwawancara sebuah perusahaan branding kelas internasional. Mengalami hal ini, saya yakin bahwa proses re-branding yang sedang berjalan di RZI menggunakan metode diakui dunia.
Dalam mengikuti proses re-branding ini saya mendapati diri mereka-reka apa yang akan terjadi. Kalau melihat visinya untuk menjadi lembaga amil zakat bertaraf internasional, saya sempat berpikir sekilas akankah re-branding ini membuat RZI menjadi RZ, tanpa akronim I sebagai wakil kata Indonesia. Ataukah visinya yang diubah? Pertanyaan lain, apakah maskot rumah biru-kuning tersenyum masih akan digunakan, karena terus terang saya sempat menganggap maskot tersebut sebagai logo RZI.
Terlepas dari itu semua, biarlah re-branding team bekerja menyelesaikan proyek ini. Kita semua tahu bahwa RZI bukanlah Pak Tua penjual buah mangga dan kita juga tahu bahwa brand bagi organisasi – seperti RZI – adalah aset. Manakala brand terpatri kuat di dalam benak stake holder, maka organisasi dengan lini usahanya akan bertumbuh baik. Di sisi lain, stake holders pasti akan mengasosiasikan tampilan brand dengan realisasi brand value di kehidupan nyata. Kalau asosiasi tersebut sesuai, maka terjadi penguatan persepsi brand di benak stake holder. Saya berharap brand baru bukan hanya tampilan luar belaka.
Brand Value
Belum juga identitas visual dari brand baru dikenalkan ke publik, saya sudah melihat brand value baru pada sebuah halaman majalah Lentera edisi Maret 2010. Tersusun atas 3 kata yang sangat kuat dalam bahasa asing: Trusted I Progressive I Humanitarian.
Trusted, merupakan nilai yang menjadi jawaban atas salah satu permasalahan pengelolaan Zakat saat ini. Lebih dari itu nilai ini menjadi karakter organisasi-organisasi universal besar di dunia. Kalau ditilik dari sisi profesionalisme, maka organisasi tidak boleh hanya mengandalkan pada budaya setiap individunya dalam mewujudkan trusted. Lebih dari itu, dia memerlukan budaya organisasi. Sudahkah RZI memiliki budaya organisasi yang mendukung nilai trusted? Pertanyaan spesifik pantas diangkat di internal organisasi, seperti: sudahkah budaya good corporate governance diterapkan? atau apakah setiap amil memahami Code of Conducts masing-masing? Trusted, bukan hanya bagaimana membuat laporan yang transparan dan akuntabel saja.
Progressive, nilai ini mencerminkan perbaikan berkelanjutan. Hari ini harus lebih baik dari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini. Organisasi harus menciptakan lingkungan yang menumbuh-kembangkan setiap individu sehingga bisa memberikan nilai tambah bagi stake holders. Untuk bisa melakukan itu organisasi perlu menggunakan segenap sumber dayanya dan berinovasi.
Humanitarian, secara umum kita semua paham nilai ini. RZI telah lama terbukti berkomitmen meringankan beban kemanusiaan.
Imaginasi
Saya membayangkan suatu saat nanti RZI yang kini menjadi Rumah Zakat membuka kantor perwakilan di negara-negara Eropa. Saya juga membayangkan tim Rumah Zakat membantu pemberdayaan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik di suatu daerah yang ditempuh melintasi samudera Atlantik. Bukan saja di Indonesia dan bukan saja untuk kaum muslim, rahmatan lil ’alamin, wallahua’alam.