SOLO. Ratih Ratnasari namanya. Remaja kelahiran 4 Juli 1995 ini, sekarang menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya telah meninggal di saat usianya baru 13 tahun. Ponimin Moelya Isno, ayah Ratih, menderita kelainan jantung. Kondisi ekonomi yang pas-pasan, membuat keluarga Ratih tak dapat membiayai operasi penyembuhan kebocoran pada jantung Ponimin.
Suatu hari di bulan Ramadhan tahun 2008, Ponimin terjatuh tak sengaja. Karena kebocoran jantung yang sudah diderita, menyebabkan otak kecilnya pecah. Opname selama tiga hari tak bisa menyelamatkan nyawanya. Kini, Ratih bersama Ibu dan dua adiknya terus berjuang mempertahankan hidup dengan kemandirian.
Ibunda Ratih, Sri Handayani tak memiliki pekerjaan yang pasti, hanya sebagai buruh serabutan. Terkadang dia pun bekerja mengembalakan kambing milik tetangganya. Dari kerja serabutan tersebut penghasilan sebanyak Rp 500.000 berhasil dikumpulkannya. Namun uang tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagai anak pertama, Ratih merasa memiliki tanggung jawab untuk bisa membantu meringankan beban ibunya.
Oleh karena itulah Ratih menjadi juru parkir dari sore hingga tengah malam di depan RM. Soto Sopo Nyono Jln. Adi Sumarmo, Solo. Lokasi parkir tersebut sudah menjadi tempat mencari makan mulai dari kakek sampai ayah Ratih. “Waktu bapak meninggal, lahan parkir itu sempat menjadi rebutan. Namun karena surat izin mengelola ada di ibu, maka saya bisa meneruskan pekerjaanini,” ujar gadis manis berjilbab itu.
Ketika ditanya, apakah pekerjaan tersebut tidak mengganggu aktivitas belajarnya? Ratih mengakui sempat sering bolos sekolah di tahun pertama bekerja sebagai tukang parkir. Dia terpaksa tidak masuk sekolah karena masuk angin. “Itu dulu. Sekarang saya sudah biasa,” ujarnya.
Walau demikian, Ratih tak pernah berpikir sedikitpun untuk meninggalkan bangku sekolahnya. Sehari-hari dia selalu bolak-balik dari Kampung Wironanggan Gatak Sukoharjo menuju sekolahnya di SMPIT Al Hikmah. “Saya ingin menjadi guru. Saya senang pelajaran Bahasa Indonesia dan Biologi,” ungkap siswa kelas IX tersebut kepada Rumah Lentera.
Meski pekerjaan yang dilakoni Ratih banyak menyita waktu, dia tetap menyempatkan diri untuk belajar. Waktu belajarnya adalah pada siang hari setelah pulang sekolah. Jika ada ujian atau PR yang belum diselesaikan dia mengerjakannya di tempat parkir. Tak sedikitpun rasa malu ataupun rendah diri terpancar di wajahnya. “Saya ingin bantu ibu. Kasihan ibu dan adik kalau harus menjadi tukang parkir,” katasiswa yang selalu masuk ke lima besar di sekolahnya.
Sebelumnya, Ibunda Ratih, Sri pernah mencoba untuk membuka usaha peternakan lele dan warung. Namun sebelum usahanya berhasil, modalnya pun habis habis.
Sejak Feburuari 2009, Ratih menjadi anak asuh Rumah Zakat Cabang Solo melalui program Kembalikan Senyum Anak Bangsa (KSAB). Alhamdulillah, berkat bantuan beasiswa dari Rumah Zakat Ratih sekarang bisa memenuhi kebutuhan sekolahnya, termasuk untuk membayar SPP dan membeli perlengkapan sekolah. “Sebagian uang markir dan beasiswa juga saya tabung,” tuturnya gembira.
Sri berharap setelah adik Ratih yang terkecil besar, dirinya ingin kembali membuka usaha kecil-kecilan hingga anak sulungnya itu tak perlu lagi keluar hingga tengah malam untuk menjadi tukang parkir. “Gimana juga saya khawatir. Dia kan anak perempuan. Masa setiap hari harus bekerja sampai tengah malam. Jadi nanti kalau saya punya usaha, dia cukup bantu-bantu saya saja,” ujar Sri.
“Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada donatur yang telah memberi saya bantuan. Semoga donatur selalu diberi rezeki yang banyak, umur yang panjang, dan selalu sehat. Doakan agar saya bisa mewujudkan cita-cita menjadi guru. Amin.”
Newsroom/Sigit Wardono
Solo