AM Adhy Trisnanto
Ketika jalan-jalan tikus dijadikan alternatif oleh para pengguna jalan, muncullah polisi tidur yang melintang jalan mengurangi kecepatan. Kenapa terjadi fenomena seperti itu, apa penyebabnya, benarkah itu solusi yang efektif? Telaah fenomena itu bisa jadi sebuah studi perilaku masyarakat kita yang mengasyikkan.
Mobil dan motor makin bertambah saja jumlahnya. Iklan produk otomotif memenuhi halaman-halaman koran setiap hari. Kendaraan baru maupun bekas, iklan display maupun baris. Kantor-kantor polisi setiap hari kerja dipadati orang yang mengurus SIM. Merasa telah membayar pajak, para pemilik kendaraan dan sopirnya berdesak-desak menguasai jalan. Apa boleh buat, sementara panjang jalan dan lebar jalan tidak juga bertambah, merekapun merambah jalan-jalan alternatif yang relatif sempit. Bukan cuma motor yang masuk, mobilpun tak tau diri ikutan masuk. Muncul masalah baru: para penghuni rumah di sepanjang jalan alternatif merasa cemas akan keselamatan anak-anaknya. Kalau sebelumnya anak-anak ini punya ruang di luar rumah untuk bermain, sekarang mereka harus benar-benar diawasi setiap kali keluar pagar rumah. Wilayah tanpa dinding di luar rumah tidak lagi aman. Rapat RT digelar, warga berkeluh kesah terhadap kebisingan, ketidaknyamanan, dan ketidakamanan akibat perilaku pengguna jalan di depan rumah. Apa boleh buat, merasa tidak berwenang memasang rambu larangan masuk, sementara mau protes juga tidak jelas kemana harus protes, rapat lalu memutuskan untuk bergotong royong membuat polisi tidur. Tingkat kecemasan dan kegeraman memengaruhi tebal dan tinggi pasangan bata dan adukan semen.
Kenapa disebut polisi tidur? Mungkin ini istilah khas Indonesia, yang mencerminkan keadaan masyarakatnya. Polisi adalah petugas pemelihara ketertiban masyarakat, termasuk ketertiban berlalulintas. Namun, konon jumlah polisi kita tidak memadai dibanding volume beban tugas. Celakanya, masyarakatpun harus diawasi lekat-lekat, meleng sedikit segala macam aturan bisa dilanggar. Mungkin berangkat dari pikiran demikian, Pak Polisi dan Bu Polwan kita ramai-ramai diturunkan di perempatan-perempatan jalan. Mereka dengan sangat aktif menggerak-gerakkan tangannya menyuruh para pengendara jalan melaju. Padahal kalau dipikir, ngapain harus disuruh karena jelas para pengendara itu memang ingin bergegas. Anehnya lagi, sudah ada traffic light yang harusnya mengatur kapan harus berhenti kapan harus jalan, tapi lampu itu kalah oleh perintah sang polisi. Nah, patung polisi (yang pernah jadi trend) dan polisi tidur jadi solusi. Walaupun patung dan gundukan bata plus semen adalah benda mati, mudah-mudahan masih mampu mengurangi perilaku ganas para pengguna jalan.
Dalam skala yang lebih kecil kita juga masih sering tidak menaati sistem, kita lebih banyak menggunakan kebijakan-kebijakan. Padahal sistem dibuat dengan super serius, jidat berkerut dalam. Padahal sistem membedakan antara apakah kumpulan orang ini sebuah kerumunan orang belaka atau suatu organisasi. Anggota organisasi punya tujuan yang sama dan diatur oleh aturan tertentu. Aturan itu menjadi sistim kerja.
Setiap kali seseorang masuk dalam suatu kelompok, dia harus menyesuaikan diri dengan sistem yang ada. Dia tidak bisa seenaknya mau menjalankan fungsi yang diembannya dengan mengabaikan sistem yang sudah dibakukan. Dia menggadaikan sejumlah kebebasannya dengan sepenuh kesadarannya.
Kalau saja kesadaran semacam ini ada, maka sebenarnya kita tidak membutuhkan polisi tidur, apalagi patung polisi yang dipasang sekadar untuk menakut-nakuti. Polisi tidur dan patung polisi hanya ditemukan di negeri dengan tingkat kesadaran dan disiplin sosial yang masih rendah.