Bulan September lalu banyak perusahaan?mulai dari bank pemerintah maupun swasta, perusahaan pelayanan publik telekomunikasi, dan transportasi?secara serempak dan instan melaksanakan kegiatan yang di luar kebiasaan mereka. Saat itu, setiap konsumen yang ditemui diberikan cenderamata tertentu berupa bingkisan permen atau cokelat, bahkan ada juga dengan program ?senyum? sesuai slogan yang tertera: ?Senyum pelanggan adalah senyumku juga?.
Ini semua adalah bagian dari tindakan konkrit dan kepedulian perusahaan untuk memberikan pelayanan khusus dalam rangka Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas), yang jatuh setiap tanggal 4 September. Hanya saja perlu disadari, suka atau tidak suka, kepuasan pelanggan adalah proses panjang, bukannya kumpulan proyek yang diikat menjadi kegiatan mendadak.
Dari yang kita cermati di atas, ternyata kegiatan kepuasan pelanggan masih sangat kental didominasi oleh produk-produk jasa. Padahal yang disebut customer bukanlah semata-mata konsumen akhir. Bagi bisnis distribusi, customer adalah perantara seperti para pengecer/retailer, pedagang besar/grosir, pasar modern (modern market) serta institusi/korporasi. Pertanyaan yang kini muncul: apa yang dilakukan oleh prinsipal ke distributornya, dan distributor ke pelanggannya, serta para pelanggan/toko ke konsumen akhirnya?
?Tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang tidak ingin dilayani dan dipuaskan, kecuali bila sudah tidak memiliki rasa dan membedakan mana yang indah dan mana yang buruk, mana yang baik dan mana yang tidak, serta mana yang nikmat dan mana yang laknat.? (Mindiarto Djugorahardjo)
Lima Pendekatan
Dalam perspektif kepuasan pelanggan, perusahaan distribusi tentunya masih perlu ekstra kerja keras. Bukan saja soal sikap kepedulian dari setiap organisasi yang terlibat di dalamnya, namun juga soal belum mendapatkan format dan harapan customer. Atas dasar itulah, maka ada lima (5) pendekatan di dalam memuaskan pelanggan bagi perusahaan distribusi.
Pertama, keberadaan/ketersediaan produk atau product availibility. Di sinilah sumber keuntungan, bagaimana pelanggan dipastikan mendapatkan produk-produk yang dipesannya, dikirim secepatnya, dalam jumlah yang sesuai dan jenis/ukuran/item yang sesuai pula.
Kedua, kunjungan teratur dan rutin dari jajaran penjual, yaitu kepastian jadwal kunjungan: apakah setiap hari tertentu, jam tertentu, atau frekuensi terstruktur sesuai dengan potensi/daya belinya?seperti sebulan satu kali atau 2 kali, 3 kali dan seterusnya. Ini akan menentukan kepastian jumlah produk yang akan dipesan agar bisa melakukan prakiraan yang lebih akurat sehingga tidak berlebih maupun kurang. Hal lainnya adalah durasi kunjungan, yaitu berapa banyak waktu yang disediakan saat jajaran penjualan melakukan kunjungan presentasi penjualan.
Ketiga, kecepatan dalam memberikan tanggapan dan umpan balik (feedback). Karena kecepatan dan kepastian keputusan bagi mereka adalah sesuatu yang sangat berharga, pelanggan sangat tidak menyukai budaya ?tar sok-tar sok? alias sebentar besok, sebentar besok.
Keempat adalah hal klasik, yaitu keuntungan memadai. Keuntungan ini tentunya dari perspektif harga, diskon, tenggat waktu pembayaran, kebijakan barang retur, profil dan segmentasi produk, apakah produk yang dijual itu dapat dijadikan sebagai mercu suar dan daya tarik atau malah jadi produk bermasalah.
Kelima, Trade Marketing yang berorientasi kepada sell-out. Dengan begitu, ada keseimbangan antara kemampuan dan keyakinan dalam melakukan pemesanan dengan kemampuan sell-out (mengeluarkan barang hingga dibeli oleh konsumen akhir). Program Trade Marketing itu sendiri merupakan proyek yang bisa dilakukan oleh jajaran penjualan, yang meliputi delapan aktivitas seperti: dibentuknya team key account management, standarisasi visual merchandising yang atraktif, pelaksanaan trade insentif/bonus, kepuasan pelaksana dalam jajaran penjualan, penerapan manajemen inventory, pelaksanaan manajemen logistik, serta sistem penjualan dan kontrol yang multi dimensi, manual administrasi, inspeksi mendadak, dan electronic control.
Selamat mencoba.
www.majalahmarketing.com
setya.jogja