Permasalahan dan kesulitan ekonomi tak jarang membuat seseorang merasa buntu dan kehilangan arah untuk menemukan jalan keluar. Hingga pada sampai di titik kesulitan materi yang teramat sangat, akhirnya banyak diantara kita yang memilih untuk berutang kepada sesama. Tidak salah memang.
Berhutang diperbolehkkan dalam Islam, bahkan karena tak menghendaki adanya orang yang dirugikan karena praktik hutang piutang, Allah merumuskan adab-adab berutang yang tertuang dalam penghujung surah al-Baqarah ayat 282 bahwa setiap praktik hutang piutang harus dicatat dan disaksikan.
Pencatatan dan persaksian atas transaksi utang piutang dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan dan permusuhan yang akan sangat mungkin terjadi. Dengan pencatatan dan persaksian pula, pengutang ingat kembali jumlah utang yang harus ia bayar jika suatu waktu ia lupa. Namun bagaimana, jika yang berutang tidak mampu atau bahkan fenomena yang sering terjadi adalah justeru yang berhutang lebih kasar dan kejam daripada si pemberi hutang?
Karenanya, diperlukan kelapangan hati dan jiwa ketika kita memutuskan untuk memberikan pinjaman kepada orang lain. Pemberi utang juga harus mengetahui betul apakah yang diutangi betul-betul belum mampu membayar, pura-pura tidak mampu atau bahkan tak ada niat untuk melunasi utangnya. Terkait menghadapi orang yang tidak mampu membayar, maka Alquran menganjurkan kita untuk memberi kelapangan.
“Dan jika dia (penghutang) memiliki kesukaran maka berilah penangguhan sampai waktu lapang (mampu membayarnya), dan apabila kalian menyedekahkannya maka itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui,” (Qs Al-Baqarah: 280)
Begitu santunnya anjuran Alquran dalam memberikan pedoman utang-piutang. Selain si pemberi utang dianjurkan untuk memberikan kelapangan (maysarah—kelonggaran waktu atau kesempatan untuk membayar), pemberi hutang juga harus siap jika pada akhirnya harus menyedekahkan uang yang dipinjamnya ketika yang berhutang, akhirnya tidak sanggup membayarnya.
Pertanyaannya; sudah sanggupkah kita mengikuti tuntunan Alquran? Andai saja kita memiliki uang 10 juta lalu dipinjamkan kepada 10 orang dan kesemuanya itu tidak mampu membayar utangnya, mampukah kita ikhlas?
Ketika Hudzaifah dan Abu Mas’ud ra sedang berkumpul, Hudzaifah ra berkata, “Ada seorang laki-laki yang meninggal dan menemui Tuhannya, maka Tuhannya berkata kepadanya, “Apa yang telah kamu perbuat?” Dia menjawab, “Aku belum pernah berbuat kebaikan, melainkan dahulu aku adalah seseorang yang memiliki harta benda. Dengan harta yang kupunya itulah aku biasa memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan, lalu aku sering memberikan kemudahan dalam pembayaran. Apabila seseorang tidak mampu membayarnya, maka aku membebaskan hutang tersebut,” Maka Allah Swt berfirman, “Berilah kelapangan kepadanya,” Abu Mas’ud berkata, seperti itulah aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,” (HR Muslim, Shahih Muslim, Juz 3, No Hadits 1560)
Demikianlah, tidak ada satu perbuatanpun yang luput dari penjagaan Allah. Berapapun nominal yang telah kita keluarkan (pinjamkan) dengan ikhlas, semua itu pasti akan terbalas. Cukup balasan di akhirat sajalah segala amal kebaikan orang-orang baik itu diberikan.
Allahu a’lamBy : Ina Salma Febriany
Problems and economic difficulties often make a person feel stuck and disoriented to find a way out. Up to the point at the extreme difficulty of the material, eventually many of us who choose to owe to others. It is not wrong indeed.
Owe is permitted in Islam, even as it did not want the presence of the aggrieved person for accounts payable practices, God formulated the rule or manner of owe contained in the end of surah al-Baqarah verse 282 that any accounts payable practices should be recorded and witnessed.
Recording and testament on transactions of debts is intended to avoid confusion and hostility that would very likely occur. By recording and the testimony of all, debtors recall the amount of debt he had to pay if a time he forgot. But how if the debtor is poor? or even there is a phenomenon that often happens is precisely that the one who owe more coarse and cruel than the creditor?
Therefore, we need a broad-mindedness and spirit when we decided to lend money to others. The creditor must also know exactly what is owed really have not been able to pay, pretending not capable or even no intention to repay the debt. Related to deal with people who are unable to pay, then the Qur’an encourages us to give spaciousness.
“And if the debtor is in straitened circumstances, then (let there be) postponement to (the time of) ease; and that ye remit the debt as almsgiving would be better for you if ye did but know. “(Surat Al-Baqarah: 280)
The Qur’an is so mannered suggestions in guiding debts. In addition to the creditor is recommended to provide spaciousness (Maysarah-spare time or opportunity to pay), the creditor must also be prepared if it should ultimately make borrowed money as a sadaqah when the debtor, ultimately could not pay.
The question is; have we followed the guidance of the Qur’an? If only we had the money 10 million and lent it to 10 people and all of them were not able to pay its debts, could we sincere?
When Hudhayfah and Abu Mas’ud ra were gathered, Hudhayfah ra said, “There was a man who died and to his Lord, then the Lord said to him,” What have you done? “He replied,” I never do good, but first I am a person who has property. With the treasure I have left that I used to give loans to people in need, and I often provide ease of payment. If a person is unable to pay, then I release these debts, “Then Allah says, ‘Give spaciousness to him,” Abu Mas’ud said, that’s how I heard the Prophet said, “(Muslim, Sahih Muslim, the Section 3, No hadith 1560)
Thus, there is no one who escapes from God custody. Any nominal that we have to spend (lend) with sincerity, it just must be reciprocated. Quite a reply in the hereafter alone all his good deeds good people were given.