Sama seperti utang dalam bentuk uang yang perlu dilunasi,
begitu pun dengan utang puasa. Mereka yang telah meninggal dunia (misal karena
sakit) dan meninggalkan utang puasa qadha, maka ahli wali atau ahli warisnya
yang harus melunasinya.
Lalu, bagaimana cara melunasinya?
Seperti yang dilansir dari buku Fiqih Praktis Sehari-Hari
karya Farid Nu’man Hasan, dikatakan bahwa ada dua cara untuk melunasi utang
puasa orang yang meninggal dunia (baik laki-laki atau perempuan). Dalam hal
tersebut ada dua pendapat ulama. Ada ulama yang berpendapat cara melunasinya
dengan membayar fidyah. Dan, ada juga pendapat ulama yang mengharuskan
mengqadha puasa atas nama almarhum/ah (bukan dengan cara fidyah).
Baca Juga: Bagimanakah Hukum Bersedekah dengan Harta yang Haram?
Dua pendapat tersebut dijelaskan secara jelas oleh Syekh
Sayyid Sabiq rahimahullah dalam kitab
Fiqhus Sunnah-nya. Berikut penjelasan Syekh Sayyid Sabiq:
Menurut mayoritas
ulama (seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang masyhur dari Asy-Syafi’i) bahwa
walinya tidaklah mengqadha puasa untuknya, tetapi memberikan makan sebanyak
satu mud untuk setiap harinya.
Namun, madzhab yang
dipilih oleh Syafi’iyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk mengqadha puasa
baginya, yang dengan itu, mayat (almarhum/ah) sudah bebas dan tidak perlu lagi
memberikan makanan (fidyah).
(Pihak) yang dimaksud
dengan wali adalah kerabatnya, baik ia merupakan ‘ashabah, ahli waris, maupun
selain dari mereka. Bahkan, seandainya orang lain pun tetap sah jika meminta
izin kepada walinya. Jika tidak (meminta izin), tidak sah. Mereka berdalih
seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Asy-Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim),
dari Aisyah, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Barang siapa yang wafat dan ia ada
kewajiban puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuknya.” Dalam riwayat
Al-Bazzar, ada tambahan, “… Jika ia mau …”
Baca Juga: Hukum Merebut Harta Anak Yatim
Diriwayatkan oleh
Ahmad dan ashabus sunan, dari Ibnu Abbas ra., “Ada seorang laki-laki yang berkata
kepada Rsaulullah Saw., ‘Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan ia ada
kewajiban puasa, bolehkah aku yang mengqadhanya?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Apa
pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah kamu akan membayarkannya?’
Laki-laki itu menjawab, ‘Ya.’ Kemudian, Nabi Saw. bersabda, ‘Maka, utang kepada
Allah lebih layak untuk kamu bayar.’” Imam An-Nawawi berkata, “Pendapat ini
adalah pendapat yang benar dan terpilih, serta kami meyakininya dan telah
disahihkan oleh para peneliti dari para sahabat kami (Syafi’iyah) yang telah
menggabungkan antara hadits dan fiqih karena hadits-hadits ini adalah sahih dan
begitu jelas.” Wallohu’alam bishawab.