NIKAH ITU TAK MUDAH

oleh | Mar 28, 2011 | Inspirasi

Oleh: Linda Handayani

Tahun lalu saya dipinjami sebuah buku panduan pernikahan yang unusual. Judulnya “Menikah itu Tak Mudah, Sebuah Persembahan Untuk Kader Dakwah” karya Afifah Afra. Takseperti buku-buku pernikahan karya Fauzil Adzim, Salim A. Fillah, Cahyadi Takariawan yang selalu menggebu-gebu menyemangati pembacanya untuk menikah, dari judulnya saja buku ini sudah “menyeramkan”. Untunglah warnanya yang merah jambu tidak sama menyeramkan dengan judulnya. Buku ini adalah second opinion tentang pernikahan. Kita diberi penjelasan bahwa pernikahan yang berbunga-bunga itu ternyata perlu bibit unggul, perlu dipupuk dan disirami dengan telaten dan penuh kesabaran. Perlu perjuangan untuk menjaganya.

Karya Afifah Afra yang didedikasikan untuk kader dakwah ini hanya berisi lima bagian sederhana: pertama, sebuah iftitah yang menjelaskan bahwa menikah memang takmudah. Setelah itu, pada bab pertama kita disuguhi gambaran bahwa menikah takselamanya indah. Bab kedua mengilustrasikan kerikil-kerikil yang mungkin ada dalam sebuah pernikahan. Mereka yang sukses membina rumah tangga dikisahkan pada bab ketiga. Di akhir kita akan mendapatkan second opinion tentang pernikahan untuk kita renungkan. Lima bagian sederhana ini tentu tidak serta merta menakuti dan membuat kita menunda pernikahan atau sebaliknya, ia juga tidak lantas membuat kita menjadi sang jagoan hingga dengan secepat kilat siap untuk menghadapi pernikahan. Ia menjadi martir ilmu yang membuat kita yang belum menikah menjadi lebih siap menghadapi pernikahan yang banyak perempuan mengharapkannya menjadi pengalaman pertama dan terakhirnya.

Buku ini memang tidak monoton berisi gagasan-gagasan Afra tentang pernikahan. Ia pun banyak memberikan gambaran pengalaman orang-orang yang melalui proses sebelum pernikahan, bahkan kisah pasangan yang sukses menjalani bahtera kehidupan dengan perahu kecil bernama pernikahan. Semua yang dicontohkan Afra adalah ibrah bagi para pembaca yang belum berkeputusan untuk mengambil amanah mitsaqan ghalidza ini. Nabi bersabda,

Ia adalah Simpul Peradaban

“Saling menikahlah sehingga kalian akan melahirkan keturunan. Sesungguhnya dengan banyaknya kalian nanti, Aku menjadi bangga di hadapan umat-umat lain pada hari kiamat,\” (Hadits).

Islam menilai keluarga sebagai pondasi kehidupan sosial yang paling strategis untuk membangun sebuah peradaban. Oleh karena itu, pernikahan tidak bisa dijalankan hanya dengan landasan semangat atau nafsu. Ia adalah kumpulan tanggung jawab yang pada akhirnya akan menuntut sebuah komitmen perjuangan. Konsekwensi logis dari amanah perjuangan ini, keluarga yang dibentuk pun harus keluarga muharri (penggerak). Lembaga pernikahan menjadi perahu da’wah baru untuk meninggikan Islam. Ia tidak hanya menjadi rutinitas baru yang dialami oleh dua orang yang awalnya lajang lalu hidup bersama. Ia bukan hanya kehidupan sederhana seorang lelaki yang pada awalnya mencuci baju sendiri lalu kini dicucikan oleh sang istri. Ia bukan hanya kehidupan baru seorang perempuan yang pada awalnya hanya memasak untuk dirinya sendiri kini ia harus memasak untuk sang suami. Ia jauh lebih dari itu.

Kegemilangan keluarga Ali bin Abi Thalib tentu telah sering kita dengar. Di sana ada Ali ra yang mengawali keislamannya sejak usia 10 tahun. Keistimewaannya sebagai sahabat asabikunal awwalun dan ahlul bait tentu sering kita dengar. Ia adalah pemenang duel melawan Amru bin Wudd dalam perang Khandak. Islam membesarkannya melalui peperangan demi peperangan. Fatimah mendampinginya dalam perahu peradaban itu. Ia adalah seorang super housewife yang memikul tanggung jawab kerumahtanggaan dan tidak memiliki kesempatan bermanja-manja kepada suami. Keluarga ini pun melahirkan Hasan dan Husain yang sejak kecil terbina dalam pendidikan keislaman yang kental. Itulah peran pernikahan pada dasarnya.
Peran ini tidak dapat ditanggung oleh keluarga yang terdiri dari individu pemalas, suka berhura-hura, atau nirtarbiyyah. Peran ini tidak layak dijalankan oleh generasi kacangan yang membaca kitab sucinyapun hanya di waktu sempat. Amanah besar ini tidak akan berjalan lancar jika dijalankan oleh lelaki dan perempuan yang berkebiasaan tebar pesona ke sana-kemari mencari perhatian lawan jenis. Tidak. Peradaban Islam tidak akan terbentuk di tangan manusia-manusia dengan akhlak dan ma’nawiyah minus. Mereka hanya akan mampu didirikan oleh manusia-manusia yang kuat dan menyerahkan diri sebagai batu bata peradaban.

Jalani Proses yang Benar

“Mencari keberkahan dari sebuah hubungan,” perkataan kawan yang selalu terngiang dalam benak saya. Keluarga yang diliputi keberkahan itu akan hadir jika sejak awal dibangun dengan proses yang pasti diberkahi oleh Allah SWT. Keluarga muharrik itu akan lahir dari individu yang berkarakter muharrik pula. Kehidupannya dipenuhi aktivitas yang melindunginya dari VMJ (Virus Merah Jambu). Afra menyebutnya imunitas dalam menghadapi VMJ. Imunitas ini akan didapat dari dzikrullah, yaitu shalat tahajud, shaum sunnah, dan wirid alma’tsurat. Mereka juga aktif dalam kegiatan da’wah tidak di pinggiran saja. “Tercebur dalam kelelahan da’wah,” kata Afra. Seluruh aktivitas didedikasikan untuk da’wah sehingga diri-diri mereka akan terbebas dari aktivitas yang takpenting dengan lawan jenis. Selain itu, Afra menyebutkan bahwa nasyid flamboyan dan cerita-cerita romantis belum layak dinikmati oleh generasi ini.

Dalam beberapa bab buku ini Afra juga menjelaskan bahwa proses ta’aruf (perkenalan), khitba (pinangan), nikah merupakan proses yang harus dijaga kesyar’iannya. Afra mengibaratkan ta’aruf seperti dua orang yang sedang berjual beli. Dua orang yang berta’aruf akan saling menceritakan kebaikan dan keburukan tanpa harus menutupi kekurangan yang ada. Tidak ada subjektivitas di dalamnya. Tidak ada kecenderungan yang menyertai seperti pada pacaran, sehingga ketika menentukan pilihan, maka pilihan tersebut adalah sebuah pilihan yang objektif. Objektivitas ini menjadikan penolakan pun sebagai sesuatu yang biasa. Tidak akan ada sakit hati dalam ta’aruf yang objektif. Objektifitas ini harus dibawa sampai pada jenjang khitbah dan nikah. Interaksi antara calon pasangan harus tetap dijaga.

Akad nikah dan walimah bukan merupakan akhir dari semuanya. Sejatinya ia adalah awal dari semua tanggung jawab yang akan diemban oleh pasangan keluarga. Oleh sebab itu, kesakralannya harus dijaga. Jangan sampai karena kelelahan mempelai laki-laki harus mengulang-ulang lafadz akad nikah akibat kehilangan konsentrasi. Berbahaya juga jika ketika walimah mempelai perempuan pingsan di pelaminan karena kelelakan menyiapkan konsumsi. Kesehatan fisik, psikologis, dan ruhiah harus dijaga oleh calon pengantin.

Setelah Menikah: Saatnya Menyusun dan Menjalankan Visi Peradaban

Layaknya sebuah organisasi yang baru dibangun, tentu pada awalnya harus ada rapat pemegang saham. Meminjam istilah seorang teman, pernikahan adalah mendirikan sebuah perusahaan yang berorientasi profit surga. Di dalamnya ada visi dan misi yang jelas. Core behaviour dan contra behaviournya juga harus jelas. Diperlukan pula shared values perusahaan keluarga tersebut untuk menuntun tiap langkah perjalanan dan kebijakan perusahaan. Kesemuanya itu harus bersandar pada Alquran dan Sunnah. Cukuplah ini menjelaskan bahwa menikah itu tidak mudah.

Masalah-masalah kecil tentang karakter atau kebiasaan pasangan yang baru kita temukan setelah menikah tidak akan menjadi masalah besar. Ada hal yang lebih besar yang harus kita urusi selain hal sepele itu. Bahkan Afra berujar, “Jika Anda melihat keburukan pasangan Anda dan berhasil mengatasinya, berbahagialah. Hal itu berarti yang belum Anda lihat adalah kebaikan-kebaikannya.” Bukan hanya karakter atau tabiat pasangan yang sedang kita pelajari dalam berumah tangga tapi juga watak mertua, ipar, bahkan saudara jauh. Apabila ini menjadi hal sulit buat kita, bagaimana kita menyelesaikan masalah peradaban yang lebih besar? Jika keluarga pasangan belum berislam secara baik, anggaplah perkenalan dan pemahaman kita kepada mereka sabagai tahapan da’wah juga. Agar ketika ada sesuatu yang tidak menyenangkan, kita tidak lantas menerimanya secara emosional.

Kondisi keuangan juga akan menjadi kendala jika dihadapi tanpa kesyukuran. “Bersyukurlah, maka nikmatmu akan Aku tambah,” janji inilah yang cukup harus dipahami oleh seorang istri ketika mendapatkan suami yang berpenghasilan pas-pasan. Pada saat demikian, istri memiliki tugas mengatur rencana keuangan keluarga. Jika visi dan misi keluarga sudah lengkap, tentu akan mudah mengatur rencana keuangan untuk mencapai visi tersebut. Jika rencana strategis keluarga sudah ada, akan mudah menentukan kapan membeli rumah, mobil, beribadah haji, atau bahkan sejak kapan dan berapa banyak uang yang akan disumbangkan untuk Palestina dapat ditentukan sejak awal pernikahan.

Setelah seluruh visi, misi, strategi, dan rencana keuangan telah disiapkan, yang diperlukan adalah sinergi untuk mewujudkan rencana-rencana tersebut. Berperjalanan dalam pernikahan bukanlah perjalanan yang sebentar. Ia akan menjadi perjalanan yang melelahkan jika tidak ada ikhlas di dalamnya. Tentu setiap kita ingin menjadikan pasangan kita sebagai pendamping kekal dunia dan akhirat. Setelah memilihnya, berkomitmen menjaga hubungan, ikhlas, kita tinggal menunggu keberkahan yang diberikan oleh Allah SWT berupa pertemuan kembali di Surga-Nya kelak.

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0