Oleh: Titin Titan
Lelaki itu terguncang. Tak pernah terpikir dalam benaknya menerima amanah ini. Maka di tengah gejolak hatinya itu ia bangkit lantas berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada di leher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki.”
Penolakan ia sampaikan, tetapi orang-orang tetap memilihnya. Ia pun akhirnya menerima dengan berat hati, rasa takut kepada Allah, dan tangisan. Segala keistimewaan yang merupakan fasilitas atas kedudukannya ia tolak. Ia pun lantas pulang ke rumah berniat untuk tidur. Letih setelah mengurus jenazah seorang sahabat yang kedudukannya kini ia gantikan.
Pada saat itulah anaknya yang berumur 15 tahun masuk, menanyakan apa gerangan yang sedang diperbuatnya. Maka ia pun menjawab, “Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini”.
“Jadi apa yang akan engkau lakukan, wahai ayah?” tanya anaknya ingin tahu.
“Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zhuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama orang-orang.”
Bukannya mengiyakan, sang anak justru berkata, “Ayah, siapakah yang menjamin ayah masih hidup hingga waktu zhuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggung jawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi?”
Umar ibn Abdul Aziz terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya untuk mendekat sambil berkata, “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku.”
Ya, dialah seseorang yang mendapat julukan sebagai Khalifah kelima, cicit Umar Bin Khattab yang bahkan tak sampai mengenyam masa tiga tahun kepemimpinannya, tapi berita tentang kemakmuran rakyatnya saat itu belum tertandingi hingga memasuki abad ke 21 ini. Dialah Umar ibn Abdul Aziz r.a.
***
Menjadi seorang pemimpin memang tak pernah mudah. Ada banyak sinergi yang harus dibangun di sana, meski hanya untuk memimpin diri sendiri. Ada ego yang harus dikalahkan, ada proses yang harus dijaga penuh kesabaran serta keikhlasan. Apatah lagi memimpin keluarga, sekelompok manusia di lingkungan kerja, di lingkungan rumah, atau bahkan dalam ruang yang lebih besar lagi, memimpin sebuah daerah atau sebuah negara. Mutlak dibutuhkan seni kepemimpinan yang tak gampang.
Untuk menjadi seorang pemimpin setidaknya dia harus punya rasa kepedulian yang tinggi. Tidak perlu jauh-jauh peduli akan orang lain dahulu, tapi pedulilah pada diri sendiri. Peduli pada rupa wajah sendiri ketika kelak dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kita oleh-Nya. Jika kita ingin menyelamatkan rupa di depan Allah, tentu harus bermula dari tanggung jawab yang kita bangun ketika diamanahi menjadi seorang pemimpin, bukan?
Sehingga dengan kepedulian tersebut akan melahirkan tanggung jawab menjadi seorang pemimpin yang (sudah) seharusnya membawa pasukan yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik. Entah itu kesejahteraan hidup, kenyamanan tinggal, kerukunan antar sesama, dan yang jelas menjadi lebih baik di hadapan-Nya.
Ketika menjadi pemimpin, Umar berangkat dari tanggung jawab yang penuh terhadap Allah. Sehingga ia mempunyai alasan yang tak pernah lekang untuk tetap berbuat baik, untuk tetap tegak berdiri saat menghadapi segala ujian serta kesulitan.
Maka pemimpin ideal adalah ia yang menjadikan Allah sebagai alasannya untuk melangkah, untuk mengatur segala kebijakan yang diambilnya. Maka pemimpin yang ideal adalah ia yang mempunyai visi tentang kehidupan akhirat, sebab ia yakin dengan begitu kenikmatan dunia akan otomatis mengikuti.
Maka pemimpin ideal adalah ia yang ia bahkan tak berani menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, seperti Umar yang mematikan pelita ketika menerima tamu untuk urusan keluarga, bukan negara.