Oleh : Alfath
Head of Region II Rumah Zakat Indonesia
“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu
pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas, dan tuntas)”.
(HR Thabrani)
Secara eksplisit, hadist diatas mengajarkan–bahkan menganjurkan, kita
untuk menerapkan ilmu manajemen dalam setiap pekerjaan. Agama ini ternyata
sangat memperhatikan aspek penataan dalam mengurus segala persoalan. Islam
menghendaki dalam mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik,
tepat, terencana dan tuntas, sekaligus merupakan sesuatu keharusan yang
dikukuhkan dalam syariat. Secara tegas Ali pernah mengatakan dalam sebuah
kalimatnya yang populer, ?Al haqqu bilaa nizhaami, yaghlibuhul
baathilubinizhami?. (Kebenaran yang tidak terorganisasi dengan rapi, akan
dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi dengan baik)
Aspek Manajerial
Tak terkecuali pada Lembaga Pengelola Zakat (LPZ). Manajemennya harus
dapat diukur. Pada lembaga semacam ini dan lembaga lain sejenis yang
dananya berasal dari masyarakat, manajemen yang baik minimal dapat dilihat
melalui tiga aspek berikut ini:
- Amanah
- Profesional
- Transparan
Ini syarat mutlak. Dalam praktik, masyarakat hanya menyalurkan zakat
kepada lembaga yang amanah. Modal mereka hanya trust (kepercayaan). Jika
sifat ini terkikis, tamatlah riwayat lembaga tersebut. Amanah memiliki
makna keinginan untuk memenuhi sesuatu sesuai dengan ketentuan.
Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi dengan profesionalisme dalam
pengelolaannya. Hanya dengan profesionalitas yang tinggilah dana-dana yang
dikelola akan menjadi efektif dan efisien. Profesionalitas dapat dipahami
sebagai kerja full time, SDM yang kapabel, tools pendukung yang memadai,
jaringan yang luas, data yang lengkap, ataupun menyangkut performa lembaga
yang baik.
Baik dari segi pelaporan dana, struktur organisasi, sumber penerimaan,
arah penyaluran, program kerja maupun SDM. Kontrol harus dari dua arah.
Pertama, dari internal lembaga/instansi di atasnya. Kedua, publik.
Mekanisme ini berlaku terhadap seluruh lembaga yang dananya berasal dari
masyarakat.
Disamping itu terdapat aspek lain yang perlu diperhatikan seperti
terdapatnya sistem, prosedur dan aturan yang jelas, dan memiliki rencana
kerja (activity plan).
Pada masa Rasulullahpun pengelolaan zakat sudah demikian baik. Beliau,
disamping mengkhususkan area untuk kemaslahatan umum, seperti tempat
penggembalaan kuda-kuda perang, juga menentukan beberapa orang petugas
untuk menjaga harta kekayaan negara seperti kekayaan hasil bumi khaibar
yang dipercayakan kepada Abdullah Bin Rawahah. Sedangkan tugas penjagaan
baitul maal dan pendistribusiannya diamanahkan kepada Abi Rafi’ dan Bilal.
Sementara pembayaran zakat ternak diamanahkan kepada salah seorang dari
Bani Giffar. (Mundzir Qohf, p:10-24, 1999)
Teropong Masa Lalu
Pada masa pemerintahan Umar Bin Khottob, untuk pertama kalinya pemasukan
zakat ditransfer ke pemerintahaan pusat, hal tersebut terjadi ketika Muadz
Bin Jabal mengirim 1/3 hasil zakat daerah Yaman ke Madinah dan Umar
menolaknya. Pada tahun berikutnya Muadz mengirim ? hasil zakat Yaman dan
kembali Umar menolaknya. Sehingga pada tahun berikutnya Muadz mengirim
seluruh hasil zaakat dan berkata kepada Umar bahwa di Yaman sudah tidak
ada lagi mustahik zakat. Kemudian Umar pun menerima hal tersebut dan
selanjutnya Umar mensuplai hasil surplus zakat suatu daerah ke daerah yang
mengalami yang defisit.
Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa pada zaman Umar, baitul maal
pernah menghimpun sekitar 180 juta dirham, sedangkan pada zaman Al Hajjaj
pernah terhimpun sekitar 18 juta dirham dan di zaman Umar Bin Abdul Aziz
sebanyak 30 juta dirham, kemudian tahun berikutnya 40 juta dan Umar sempat
berkata jika aku diberi kesempatan setahun lagi memerintah niscaya aku
akan dapat menghimpun seperti yang pernah di himpun oleh Umar bin Khottob.
Tapi tahun berikutnya beliau di bunuh.
Pada masa Umar bin Abdul Aziz juga, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Ubaid, bahwa Gubernur Baghdad Yazid bin Abdurrahman mengirim surat kepada
Amirul Mukminin tentang melimpahnya dana zakat di baitulmaal karena sudah
tidak ada lagi yang mau menerima zakat, lalu Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan untuk memberikan upah kepada mereka yang biasa menerima
upah, dijawab oleh Yazid ?kami sudah memberikannya tetapi dana zakat
begitu banyak di baitulmaal.?
Lalu Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan untuk memberikan dana zakat
tersebut kepada mereka yang berhutang dan tidak boros, Yazid berkata,
?kami sudah bayarkan hutang-hutang mereka, tetapi dana zakat begitu banyak
di baitulmaal?, kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ia mencari
orang lajang yang ingin menikah agar dinikahkan dan dibayarkan maharnya,
dijawab lagi ?kami sudah nikahkan mereka dan bayarkan maharnya tetapi dana
zakat begitu banyak di baitulmaal?.
Akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar Yazid bin Abdurrahman
mencari seorang yang mempunyai usaha dan kekurangan modal, lalu memberikan
mereka modal tambahan tanpa harus mengembalikannya.
Mari Mengulang Kegemilangan
Hingga Desember 2004 di Indonesi setidaknya terdapat 31 BAZ tingkat
provinsi, 300 BAZ tingkat kabupaten, dan 300-an LAZ yang berjibaku
mengelola zakat. Tahun itu juga, dalam catatan Republika (2 Desember
2004), terkumpul zakat sejumlah 925,7 M. Bandingkan dengan potensinya yang
oleh banyak hasil riset menyebutkan hingga angka 20 triliun. Masih belum
apa-apa.
Kini, harus menjadi concern bersama agar dana umat yang berpotensi besar
ini tidak sekadar potensi yang dibiarkan terkubur dalam nama besar umat.
Kejayaan masa lalu telah menjadi bukti tidak terbantah bahwa zakat juga
bisa berbuat banyak mengentaskan permasalahan sosial. Buat kita juga, buat
Nusantara yang (masih) berkabung Duka.
Wallahua?lam
***