MENGHARGAI YANG TAMPAK APA ADANYA

oleh | Apr 20, 2011 | Inspirasi

oleh: Adri Yanto

Untuk menghargai sesuatu yang tampak indah mungkin akan lebih mudah. Meskipun banyak yang indah tapi tidak sesuai dengan apa adanya. Sedangkan menghargai yang tampak apa adanya, seringkali lebih sulit. Meskipun di balik yang tampak apa adanya itu, sejujurnya ada keindahan sesungguhnya. Hal ini karena imajinasi kita tentang keindahan terus berkembang pesat seiring perkembangan sarana hidup, teknologi dan pertukaran budaya yang semuanya telah mengindustri. Godaan kemajuan itu menyeret kita pada budaya citra yang semakin jauh dari realitas. Terlalu curam jurang antara keindahan yang dikreasi menggunakan hiasan imitasi dengan keindahan asli yang tampak apa adanya. Terlalu jauh bias antara yang telah dipermak penampakannya.

Orang-orang dangkal belajar menghargai ketika kehilangan apa-apa yang ternyata berharga. Orang-orang yang mendalam, belajar menghargai dengan terus menambahkan kedalam daftar kesadarannya, alasan-alasan baru untuk menghargai.Istri atau suami kita, seperti apapun, mereka obat penat dan tempat kembali yang menentramkan. Anak-anak kita, seperti apapun, mereka memberi kita kesejukan. Rumah kita, seperti apapun, memberi kita keteduhan. Kendaraan kita, seperti apapun, memberi kita efektifitas. Orang tua kita, seperti apapun, memberi jalan keberadaan. Sahabat kita, seperti apapun, memberi kita rasa kebersamaan. Nasi yang kita makan, lauk yang mungkin tidak terlalu istimewa, memberi kita kesinambungan. Matahari yang menyinari, siang yang datang dalam terang, malam yang menyelimuti dalam kehangatan, memberi kita perasaan hidup sehidup-hidupnya. Guru yang mengajari kita dalam kesederhanaan, memberi kita arah dan modal petunjuk jalan. Binatang-binatang dan alam yang ditundukkan untuk kita, seperti apapun, memberi kita keberdayaan. Maka sepantasnya kita diperintahkan untuk memakmurkan bumi. Seperti apapun, adakah kita mampu menggali sebanyak mungkin alasan, untuk bisa menghargai segala yang tampak apa adanya?

Ini lebih dari sekedar gerakan kembali ke jalur alami (back to nature). Yang kadang carut marut oleh aroma politis dan bisnis. Ini adalah gerakan kembali ke dalam kesadaran, untuk menjadi lebih arif, karena kita memiliki begitu banyak alasan untuk menghargai segala yang nampak apa adanya. Seperti kisah Sufyan Ats-Tsauri (ulama besar) yang menghargai Abu Hanifah saat beliau datang berta’ziah saat Sufyan berduka. Nampak sekali Sufyan menaruh rasa hormat kepada Abu Hanifah. Siapa yang tak kenal Sufyan Ats-Tsauri, ulama besar, yang seperti kata Fudhail bin Iyadh, “Sesungguhnya, Sufyan Ats-Tsauri lebih pandai dari Abu Hanifah.” Hanya saja Sufyan tidak memiliki murid karena ulama besar ini hidupnya berpindah-pindah untuk menghindari kejaran pasukan Abu Ja’far Al- Manshur. Sang Khalifah memaksanya untuk menjadi hakim dan Sofyan menolaknya. Sebab ia mengakui betapa dirinya sangat tidak bisa menahan diri dari kebenaran. Sufyan takut apabila ia terlibat dalam pelbagai keputusan yang rumit di masa itu (ketika terjadi pertempuran yang sangat rumit) akan semakin membesarkan api kekacauan dan pertumpahan darah. Lebih jauh lagi, jika ia harus menyembunyikan kebenaran lantaran tak kuasa atas itu, fisiknya tidak akan bisa menahan. Biasanya ia sampai kencing darah. Semua itu sangat-sangat menyesakkan.

Melihat Sufyan memperlakukan Abu Hanifah begitu sopannya, bertanyalah semua orang yang menyaksikannya. Maka Sufyan menjawab, “Dia (Abu Hanifah) seorang ulama besar yang sangat diakui ilmunya. Jika aku tidak menghargai karena ilmuannya, aku menghargai karena usianya. Jika aku tidak menghargai karena usianya, aku menghargai kefakihannya. Jika aku tidak menghargai ke fakihannya, aku menghargai kepribadiaannya.” Sufyan ingin mengajarkan kepada orang-orang yang hadir di saat itu, untuk mencari banyak alasan untuk bisa menghargai.

Jika Abu Hanifah saja seperti yang kita kenal saat ini adalah ulama besar, pendiri madzab besar, bagaimana bila ada yang lebih dari abu hanifah. Sufyan juga mendidik dirinya sendiri, bahwa bila hatinya merasa kurang pas dengan salah satu alasan, ia masih punya alasan lain untuk tetap bisa menghargai Abu Hanifah. Padahal Abu Hanifah sendiri banyak memuji Sufyan. “Kalau saja Sufyan Ats-Tsauri adalah seorang Tabiin, niscaya kedudukannya jauh lebih besar. Sekiranya Alqamah dan Al-Aswad (keduanya tokoh besar tabi’in) datang, pasti mereka berdua sangat membutuhkan Sufyan,” ujarnya.

Hidup hanyalah kumpulan interaksi. Saat-saat kita saling memantulkan penampakkan lahiriyah. Antara kita orang-orang di sekitar kita. Antara kita dengan benda-benda yang ada di sekitar kita. Antara kita dengan peristiwa-peristiwa yang mengitari kita. Dasar batin kita harus mencari tafsir atas semua yang tampak dan di situ letak jebakannya. Di situ letak ketertipuan sebagian kita. Di situ pula, tempat kita gagal atau sukses dalam menghargai. Terlebih untuk yang tampak apa adanya. Semoga Allah merahmati Abu Hanifah. Semoga Allah merahmati Sufyan Ats-tsauri. Semoga Allah mengasihi siapa saja yang tak lelah mencari alasan untuk senantiasa menghargai.

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0