Sekarang ini kita menginjak 10 hari terakhir di bulan Ramadhan yang mulia. Andai saja ini sebuah film layar lebar, tentu saat ini adalah moment klimaks. Rangkaian cerita paling seru dan ditunggu-tunggu dari penayangan film. Kita akan mulai menemukan titik terang mengenai ending ceritanya, atau lebih tepatnya kita akan mulai menebak-nebak apakah happy ending atau sad ending. Karenanya, tingkat konsentrasi penonton akan lebih tinggi dibanding sebelumnya. Ia akan memastikan tidak melewatkan satu scene pun agar benar-benar paham keseluruhan isi hingga akhirnya.
Begitupun dengan kita. 10 hari terakhir adalah klimaks dari perjalanan Ramadhan. Jika 10 hari pertama adalah rahmat, 10 hari kedua adalah ampunan, maka 10 hari ketiga atau terakhir ini adalah pembebasan dari siksa neraka. Inilah masa pertimbangan tertinggi dari Allah untuk memberikan keputusan-Nya kepada kita. Apakah kita benar-benar akan suci kembali laksana bayi yang baru lahir disaat hari Raya Idul Fitri atau sebaliknya, malah semakin kotor dengan maksiat-maksiat kita selama Ramadhan. Semuanya ditentukan dalam periode klimaks ini.
Maka adalah hal yang wajar, jika di 10 hari terakhir semua orang berburu kebaikan. Semakin banyak tilawah, semakin banyak sedekah, semakin rajin ke mesjid bahkan beritikaf. Semua kebaikan dikejar, dari yang kecil hingga yang besar. Malam-malam yang tadinya diisi dengan tidur saja setelah shalat tarawih, dan bangun kembali menjelang sahur, kini ditambah. Malam-malam menjadi hidup, karena banyak orang ingin mendapatkan satu malam spesial di 10 hari terakhir. Satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Satu malam yang jadi ciri mendapatkan kesuksesan di Ramadhan. Yaitu Malam Lailatur Qadar.
Bukanlah hal yang berlebihan, karena Rasulullah sendiri pun merapatkan barisannya di 10 hari terakhir, sebagai keterangan Aisyah berikut ini:
“Saat itu, pada sepuluh hari terakhir menjelang, Rasulullah mengencangkan, menghidupkan malamnya, dan membangunkan isterinya.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi dari Aisyah sebagaimana termaktub dalam kitab shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, halaman 4910)
Namun, 10 hari yang merupakan klimaks ini lebih sering tidak bisa dilalui dengan seharusnya. Karena di 10 hari terakhir ini pula merupakan puncak kesibukan untuk mempersiapkan lebaran. Mulai dari persiapan membuat penganan lebaran, belanja baju lebaran, renovasi rumah hingga perencanaan mudik. Kesibukan inilah yang sering melalaikan kita, hingga tanpa disadari 10 hari terakhir berlalu begitu saja dan kita pun tiba di tanggal 1 Syawal dalam keadaan sempurna untuk hal keduniawian (baju baru, makanan-makanan enak yang terhidang, rumah yang indah, berkumpul dengan keluarga jauh, dan rekreasi bersama keluarga). Akhirnya Ramadhan menjadi tidak berbekas dan kita pun kembali pada kehidupan sebelum Ramadhan. Bisa jadi sama tanpa perbaikan atau justru semakin tidak baik. Naudzubillah.
Saya jadi ingat cerita Rasulullah disaat hari Raya Idul Fitri. Ketika beliau tengah berjalan-jalan untuk mendatangi rumah-rumah kaum muslimin, langkah beliau terhenti oleh sesegukan gadis kecil di tepi jalan. Beliau pun menghampiri sang gadis dan dengan lembut menyapanya,“Gerangan apakah yang membuat engkau menangis anakku?”
Tak menoleh gadis kecil itu ke arah suara yang menyapanya, matanya masih menerawang tak menentu seperti mencari sesosok yang amat ia rindui kehadirannya di hari bahagia itu. Ternyata, ia menangis lantaran tak memiliki baju yang bagus untuk merayakan hari kemenangan.
“Ayahku mati syahid dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah,” tutur gadis kecil itu menjawab tanya Rasulullah tentang Ayahnya.
Seketika, Rasulullah mendekap gadis kecil itu. “Maukah engkau, seandainya Aisyah menjadi ibumu, Muhammad Ayahmu, Fatimah bibimu, Ali sebagai pamanmu, dan Hasan serta Husain menjadi saudaramu?”
Gadis kecil itu terperangah. Kemudian sadarlah ia bahwa lelaki yang sejak tadi berdiri di hadapannya, tak lain adalah Muhammad Rasulullah SAW, Nabi anak yatim yang senantiasa memuliakan anak yatim. Siapakah yang tak ingin berayahkan lelaki paling mulia, dan beribu seorang Ummul Mukminin?
Begitulah Rasulullah membuat seorang gadis kecil yang bersedih di hari raya kembali tersenyum. Barangkali, itu senyum terindah yang pernah tercipta dari seorang anak yatim, yang diukir oleh Nabi anak yatim. Rasulullah membawa serta gadis itu ke rumahnya untuk diberikan pakaian bagus, terbasuhlah sudah airmata. Shalawat dan salam baginya, Rasulullah yang penuh cinta. Rasulullah tak hanya berbaju bagus saat berlebaran,tetapi juga mengajak seorang anak yatim ikut berbaju bagus. Sehingga nampak tak berbeda dengan Hasan dan Husain, kedua cucunya. Rasulullah menjadikan Lebaran moment istimewa bagi semua orang.
Untuk itu, mari kita maksimalkan 10 hari terakhir yang tersisa untuk lebih peduli dengan sesama. Tak hanya sibuk sendiri mempersiapkan ‘kesempurnaan’ hari Raya kita, tapi juga memastikan semua saudara kita di seluruh penjuru Indonesia dapat merasakan kebahagiaan berhari raya yang sama, dengan senyum yang sama.
Bersama Rumah Zakat, Berbagi itu Gaya.