Nur Efendi
Board of Trustee Rumah Zakat
Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UNISBA
Bandung
Menjelang awal tahun 2023, salah satu isu
yang hangat diperbincangkan masyarakat adalah isu pengelolaan zakat yang
disinyalir digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Respon masyarakat
beragam: mulai dari mempertanyakan, menolak memberikan zakat kepada lembaga
tersebut, mendorong menyerahkannya
langsung kepada mustahik, mengajak agar berzakat dengan lembaga-lembaga dan
juga lainnya.
Dalam tulisan “Zakat Outlook 2023”
(Republika, 30 Desember 2022), penulis sebenarnya sudah merekomendasikan agar
lembaga zakat benar-benar independen dan tidak terlibat dalam kegiatan politik,
karena hal tersebut akan berdampak terhadap kredibilitas lembaga zakat (Indeks
Literasi Zakat 2022). Dengan beragam pandangan tersebut, perlu dipastikan bahwa
melalui metode apapun, ketentuan dana zakat sudah diatur untuk disalurkan
kepada mustahik yang memang berhak menerima dana zakat.
Dalam sejarah peradaban Islam, penyaluran
zakat dan sedekah dapat diberikan langsung baik kepada penerima manfaat
(mustahik) dan juga kepada amil (pengelola) zakat. Pada era Rasulullah dan
Sahabat misalnya, praktik pengelolaan zakat oleh institusi sudah dilakukan. Artinya, sudah ada pemungut dan pengelola
zakat, sebagaimana firman Allah dalam surat At Taubah ayat 103: “Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka”. Dengan ayat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwanya No. 8
tahun 2011 menjelaskan bahwa amil berperan mengumpulkan zakat dari muzakki.
Dalam Fatwa MUI tersebut, dijelaskan
praktik pengambilan dan pengelolaan zakat yaitu ketika Nabi Muhammad mengutus
Muadz ke Yaman untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya (HR Bukahri),
seorang laki-laki dari bani Al- Asdi yang bernama Ibnu Al-Lutbiyyah sebagai
Amil zakat di daerah bani Sulaim (HR Bukhari dan Muslim) hingga praktik
pengelolaan zakat dilakukan oleh para khualfaurasyidin setelahnya.
Karenanya, mendasarkan ayat Alquran dan
hadits juga beberapa kaidah fikih, MUI menetapkan bahwa amil (pengelola) zakat
dapat berupa seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah
untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat; atau seseorang atau sekelompok orang
yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola
pelaksanaan zakat.
Pentingnya Pengelolaan Zakat Secara
Profesional
Di Indonesia, sejarawan Ricklefs (2008)
mencatat bahwa setelah reformasi tahun 1998, muncul beragam lembaga filantropi
Islam yang semakin profesional dan menjadi sebuah gerakan sosial masyarakat
yang berperan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini kelak ditandai dengan
hadirnya Forum Zakat (FOZ) pada tahun 1997, hingga lahirnya Undang-undang Zakat
No. 23 Tahun 2011 yang mengatur pengelolaan zakat secara profesional.
Dalam pasal 22, zakat dapat diberikan
muzakki melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) atau Lembaga Amil Zakat
(LAZ). UU Zakat juga mengatur proses pengelolaan zakat mulai dari pengumpulan,
pendistribusian, pendayagunaan, hingga pelaporan. Dengan pengelolaan zakat
melalui lembaga zakat, proses pengelolaan zakat diharapkan menjadi lebih
transparan, akuntabel dan tepat sasaran dalam setiap prosesnya. Mengapa?
Pertama, setiap lembaga zakat harus
memastikan bahwa proses pengelolaan zakatnya sesuai dengan syariah.
Karenananya, setiap Lembaga Amil Zakat (LAZ) pasti memiliki Dewan Pengawas
Syariah yang tersertifikasi sehingga dapat dipastikan bahwa proses pengelolaan
zakat melalui lembaga sesuai syariah. Selain itu, lembaga zakat juga diawasi
dan diaudit secara syariah oleh Kementerian Agama.
Kedua, lembaga zakat harus memastikan
distribusinya tepat sasaran. Lembaga Amil Zakat memiliki mekanisme distribusi,
bahkan sebagian sudah terstandardisasi. Sebagai contoh, tim distribusi zakat
akan melakukan assessment, survei, pendampingan, serangkaian verifikasi agar
dana zakat yang disalurkan betul-betul tepat diterima 8 asnaf mustahik. Ketika
ada seorang muzaki yang ingin menyalurkan zakatnya langsung ke mustahik, yang perlu
diperhatikan adalah bahwa penerima zakat tersebut masuk dalam kriteria penerima
zakat.
Ketiga, lembaga zakat tidak hanya
mendistribusikan dengan sekali bantuan langsung habis, melainkan menyalurkan
dana zakat dalam bentuk program dan pemberdayaan jangka panjang melalui program
seperti pendidikan, kesehatan hingga pemberdayaan ekonomi. Dalam Jurnal
Iqtishaduna (2020) berjudul “Pengaruh Dana Zakat terhadap Pembangunan Manusia
di Indonesia”, Karuni menyatakan bahwa variabel zakat berkontribusi sebesar 52%
dalam peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dibandingkan variable luar
zakat.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dana
zakat dapat membantu penduduk dalam meningkatkan tingkat pendapatan melalui
program produktif dan pemberdayaan. Riset tersebut juga menunjukkan adanya
relasi antara semakin besar dan efisien zakat yang dikelola dan didayagukanan
oleh lembaga zakat, semakin tinggi pula kemampuan penerima zakat secara ekonomi
untuk mengakses hasil pembangunan ekonomi.
Beberapa penelitian pengaruh pengelolaan
dana zakat terhadap ekonomi masyarakat juga sudah banyak dilakukan. Sudiana
& Baehaqi (2022) dalam “ Filantropi Islam Dan Kontribusi Forum Zakat (FOZ)
Dalam Penanganan Covid-19 Di Indonesia” mencatat peran LAZ yang bergabung dalam
Forum Zakat (FOZ) dalam penanganan di masa pandemi. Data lainnya, Rumah Zakat
pada tahun 2022 mencatat 15% mustahik keluar dari garis kemiskinan dengan
ukuran Cibest dan Index Zakat Nasional.
Selain tiga hal diatas, seperti diatur
dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, para muzaki
yang berzakat melalui lembaga zakat akan mendapatkan bukti telah menunaikan
zakat. Bukti ini dapat digunakan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak.
Dengan semakin profesionalnya lembaga-lembaga zakat, muzaki tidak perlu lagi
menyalurkan zakatnya secara langsung tetapi melalui lembaga sehingga zakat di
Indonesia betul-betul dapat memberdayakan mustahik.