Ustaz apabila tanah wakaf tidak digunakan secara semestinya apakah tanah itu boleh diambil kembali? Apa hukumnya jika begitu dan apa hukumnya juga bila tanah wakaf ternyata dijual?
Putri, Bogor
Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Sobat Putri yang dirahmati Allah swt, seseorang yang telah mewakafkan hartanya sudah tidak memiliki harta tersebut. Dalam Mausu’ah Fiqhil Islami dijelaskan: “Wakaf adalah harta yang dikeluarkan seorang muslim dari kepemilikannya karena Allah swt. Maka tidak boleh melakukan transaksi terhadapnya baik berupa jual-beli, hibah, ataupun semisalnya. Karena jual-beli itu membutuhkan kejelasan kepemilikan, sedangkan harta wakaf itu tidak memiliki pemilik”.
Oleh karena itu, harta yang telah sah ditetapkan sebagai wakaf tidak boleh diambil kembali. Bahkan, harta tersebut tidak boleh pula diambil kembali oleh yang mewakafkannya (wakif) meskipun dengan mengganti uang seharga tanah tersebut. (Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 11930).
Apabila harta yang sudah sah diwakafkan oleh pemiliknya akan tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya oleh pengelola wakaf (nadzir) maka wakif tetap tidak boleh mengambil kembali harta yang telah diwakafkan, namun dia bisa menggantinya dengan nadzir yang lain. Kewajiban nadzir adalah melaksanakan keinginan dari pihak yang mewakafkan karena itu merupakan amanah yang harus ditunaikan.
Selain itu Wakif, hendaknyamemperhatikan hal-hal berikut terhadap benda yang diwakafkannya. Pertama: Benda wakaf tidak boleh dihibahkan kepada siapapun. Mengapa? Karena wakaf adalah mengambil manfaat, bukan menghabiskan bendanya. Kedua:Benda wakaf tidak boleh diwariskan. Karena bila diwariskan, berarti status wakafnya pindah menjadi milik perorangan. Ketiga:Benda wakaf tidak boleh dijual-belikan. Karena dengan dijual-belikan, berarti akan hilang benda aslinya. Adapun dalil larangan hal tersebut sebagaimana riwayat Umar ra berkata: “Sesungguhnya tanah wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.” (HR Bukhari).
Dalam keterangan yang lain diceritakan pula: “Sesunggguhnya Umar bin Khathab mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Lalu dia datang menjumpai Rasulullah saw untuk meminta saran mengenai kebun pembagian itu. Lalu dia berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Sungguh belum pernah aku memiliki harta yang lebih aku sukai daripada tanah ini. Maka, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan harta ini? Lalu Beliau bersabda,”Jika engkau menghendaki, peliharalah kebun itu dan engkau shadaqohkan buahnya. Dia berkata: Lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah itu tidak dijual, tidak dihadiahkan dan tidak boleh diwariskan. Lalu Umar menyedekahkannya kepada fuqoro’, kerabatnya, untuk memerdekakan budak, untuk fi sabilillah, untuk membantu ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. (HR Bukhari).
Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Wakaf termasuk akad yang dianggap sah dengan sekadar ucapan sehingga tidak boleh dibatalkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi saw: ‘Tidak boleh dijual bendanya, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan’.”Begitu pula, seandainya harta yang diwakafkan itu belum ada yang memanfaatkannya dan orang yang mewakafkan dalam keadaan membutuhkannya di masa tuanya, wakaf tetap tidak bisa diambil kembali.
Sykaikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam berkata: Imam Ahmad berpendapat, harta wakaf tidak boleh dijual atau diganti yang lain, kecuali bila tidak bisa dimanfaatkan secara keseluruhan, atau tidak mungkin diperbaiki; sehingga jika tidak dapat dimanfaatkan, maka boleh dijual atau diganti dengan yang lain. Imam Ahmad ini beralasan dengan amalan sahabat Umar ra ketika sampai berita kepadanya, bahwa baitul mal di Kufah rusak. Sehingga beliau menulis surat kepada sahabat Sa’ad ra agar memindahkan masjid di Tamarin, dan menjadikan baitul mal di depan masjid, sedangkan masjid itu senantiasa dijadikan sebagai tempat shalat. Perbuatan Khalifah ini disaksikan oleh sahabat, dan tidak ada yang mengingkarinya. Karenanya, kedudukan perbuatan sahabat Umar ra ini bernilai Ijma’.
Ibn Taimiyah berkata: Apabila dibutuhkan ganti, maka harta wakaf itu wajib diganti dengan semisalnya. Adapun bila ia tidak dibutuhkan, boleh diganti dengan yang lebih baik, bila ternyata dengan diganti (itu) lebih mendatangkan maslahat. [Lihat Taisirul Allam, 2/252].
Semoga penjelasan yang sederhana ini bisa memberikan manfaat.
Wallahu a’lam bishshawab.