MENENTUKAN AWAL BULAN RAMADHAN

oleh | Jul 25, 2011 | Konsultasi Islami

Oleh: Kardita Kintabuwana, Lc., MA.

Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan sabit (hilal) secara langsung yang dikenal dengan ru’yah atau dengan cara perhitungan (hisab).

Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan sabit (hilal) secara langsung (ru’yah). Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad).

Dalil mereka adalah sebagai berikut :
1. Sabda Rasulullah SAW, “Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi. Jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga puluh” (HR Muslim).
2. Sabda Rasulullah SAW, “Berpuasalah ketika kalian melihat hilal, dan berbukalah ketika kalian melihat hilal” (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Sabda Rasulullah SAW: “Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat hilal secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh “faqduru lahu” dalam hadits di atas setelah mengumpulkan beberapa riwayat yang ada.

Selain dalil-dalil yang telah diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan pendapat mayoritas ulama, yaitu sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung (hisab), bulan itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari,”(HR Bukhari dan Muslim).

Maksud hadits di atas adalah  untuk menentukan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang yaitu ru’yah.  Imam Ibnu Hajar menerangkan: “Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi saw mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Oleh karena itu, ia mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu hisab pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru dalam masalah ini. (Fathul Bari, 4/127).

Ini  bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini.  Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.

Pendapat kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas ( lihat hadits no 1 ), hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh “faqduru lahu” dengan ilmu hisab. Jika bulan tersebut tertutup awan, maka pergunakanlah ilmu hisab.

Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang lebih rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat hilal secara langsung (ru’yah). Imam Al-Mawardi mengatakan, “Allah SWT memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya dilakukan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan atau dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada” (Al-Hawi Al-Kabir, 3/877).Namun, boleh memakai alat bantu seperti teropong dan lain-lainnya untuk mempermudah. Demikian pula diperbolehkan menggunakan hitungan hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari ru’yat.

Untuk negara Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah dalam hal ini Menteri Agama, sesuai dengan fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal. Itu semua demi maslahat persatuan.

Wallahu a’lam bish shawab