Meski ekonomi Indonesia tumbuh ditunjang sektor konsumsi, tahun ini tak secerah tahun-tahun sebelumnya. Karena banyak penekan diantaranya inflasi tak terkendali karena semua harga yang bersentuhan dengan rakyat banyak dipastikan telah dan akan naik, seperti listrik, tiket pesawat, tiket kereta api, elpiji dan lainnya. Kita tahu, bahwa pemicu utamanya yakni harga BBM telah turun mengikut harga minyak dunia yang sedang jatuh. Namun produsen tak peduli, karena upah buruh telah terlanjut dinaikkan, ongkos produksi tak mungkin diturunkan. Akibatnya harga jual tak akan sefleksibel naik-turun harga BBM. Produsen tak salah, karena mereka sebenarnya perlu kepastian.
Ciri liberalisasi ekonomi yang tunduk pada kehendak kapital adalah munculnya gap yang besar antara kaya dengan miskin, pemain bisnis besar makin jauh jaraknya dengan pemain bisnis kecil dan menengah. Jurang makin dalam antara konglomerasi dengan UKM dan Koperasi. Level ekonomi menengah digerus karena berkurang daya beli. Jarak yang menganga ini kemudian bisa melahirkan ketidakmandirian ekonomi. Yang lebih parah lagi : Rupiah dibiarkan melemah dengan berbagai alasan. Padahal pelaku usaha yang barang modalnya impor (!) makin tercekik karena ia harus bayar berlipat-lipat lebih mahal karena USD terus menguat.
Setahun lalu saya pernah menulis artikel di blog tentang “ayam jangan mati di lumbung padi” yang menyoroti gairah yang makin tinggi untuk berbisnis di tengah masyarakat, dengan pasar yang luar biasa besar tapi wirausaha Indonesia bisa mati terlalu dini jika tak didukung 2 kekuatan lain yang harusnya punya kontribusi tinggi, yaitu KAPITAL dan REGULASI. Usaha kecil yang mencoba merangkak naik kelas tak didukung kemudahan pemberian modal. Bahkan sekarang dikenakan pajak sana-sini, termasuk toko online yang sedang tumbuh luar biasa. Selain itu terlalu sulit untuk mengurus perijinan usaha di Indonesia. Seandainya sudah berdiri pun, syarat tender dan lainnya secara alamiah akan menggusur pemain kecil dan membiarkan pebisnis besar melenggang.
Masih banyak gejala liberalisasi terjadi di sekitar kita. Pelan tapi pasti itu menggusur ekonomi kerakyatan yang ingin Indonesia bangun. Contohnya adalah harga BBM diserahkan ke mekanisme pasar dengan alasan mengurangi beban APBN dan pencabutan subsidi agar dialihkan ke rakyat kecil (faktanya justru rakyat kecil jadi korban). Yang lepas dari pengamatan – diluar kerugian karena inflasi bisa tiba-tiba terjadi – adalah masyarakat akan makin tergantung pada swasta. Harga minyak tak lagi dikendalikan pemerintah. Naik dan turun, korbannya adalah rakyat. Contoh lain lagi adalah ketatnya persyaratan untuk ikut tender dengan nilai besar. UKM, dengan kapasitasnya, hanya boleh ikut berebut remah-remah proyek. Terakhir, adalah pemangkasan peran APBN dan APBD untuk pembangunan negara, digantikan peran CSR yang didominasi swasta. Kapital, liberal, makin mendominasi. Peran negara dikebiri untuk bisa menyejahterakan rakyatnya.
Banyak yang harus kita lakukan. Mulai penguatan wirausaha, membuka lebar akses ke permodalan yang saat ini sedang mencari ‘tempat lebih rendah’ dari Timur Tengah & Eropa yang ‘over liquid’, menggalang dana lebih besar untuk disalurkan ke rakyat untuk pemberdayaan, penguatan jejaring bisnis hingga memperkuat posisi di kekuasaan, baik informal maupun formal. Semoga dengan besarnya tekanan, kita makin bersatu padu membangun benteng pertahanan.
Sumber : http://www.endykurniawan.com/menantang-liberalisasi-ekonomi/