Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita temui seseorang yang membagikan cerita tentang ibadah atau kebaikan yang telah dilakukannya. Di satu sisi, hal ini bisa menginspirasi orang lain, namun di sisi lain, bisa juga dianggap riya atau pamer.
Amal sholeh sejatinya adalah perbuatan baik yang dilakukan semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Namun, niat yang tulus ini terkadang diiringi dengan keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari manusia.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk memahami kapan menceritakan amal sholeh diperbolehkan dan kapan hal ini sebaiknya dihindari. Nah, untuk lebih jelasnya, yuk simak pembahasan berikut!
Menceritakan Amal Sholeh
Sebelum menceritakan amal sholeh, penting untuk memahami tujuan dan niat di balik tindakan tersebut. Berikut penjelasannya:
1. Untuk Menginspirasi Orang Lain
Ada kalanya menceritakan amal sholeh diperbolehkan, bahkan dianjurkan, jika tujuannya adalah untuk memberikan teladan atau menginspirasi orang lain agar turut melakukan kebaikan.
Dalam Islam, saling mengingatkan dalam kebaikan adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Namun, niat yang tulus harus tetap dijaga. Jika merasa ada kecenderungan untuk pamer, lebih baik menahan diri. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Ketika Diminta Memberi Testimoni
Menceritakan amal sholeh juga diperbolehkan jika diminta sebagai testimoni atau bukti nyata bahwa suatu amalan memberikan dampak positif.
Misalnya, seseorang yang berbagi pengalaman tentang manfaat bersedekah agar orang lain termotivasi untuk ikut bersedekah. Dalam situasi ini, pastikan hati tetap bersih dari rasa sombong atau ingin dipuji.j
Bahaya Menceritakan Amal Tanpa Alasan yang Benar
Sebaliknya, ada beberapa kondisi di mana menceritakan amal sholeh sebaiknya dihindari karena beresiko menimbulkan dampak negatif.
1. Riya dan Kesombongan
Riya adalah salah satu dosa hati yang sangat dikecam dalam Islam. Menceritakan amal sholeh tanpa tujuan yang benar bisa menjadi riya. Dalam Al-Quran surah Al-Baqarah: 264, Allah SWT berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تُبۡطِلُوۡا صَدَقٰتِكُمۡ بِالۡمَنِّ وَالۡاَذٰىۙ كَالَّذِىۡ يُنۡفِقُ مَالَهٗ رِئَآءَ النَّاسِ
“ Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya` (pamer) kepada manusia …”
Ayat ini menegaskan bahwa amal kebaikan akan menjadi sia-sia jika dilakukan untuk mendapat pujian atau merendahkan orang lain.
2. Mengurangi Keikhlasan
Keikhlasan adalah inti dari setiap amal ibadah. Ketika amal sholeh diceritakan tanpa alasan yang mendasar, hal ini bisa merusak keikhlasan. Rasulullah SAW bersabda:
“Allah tidak menerima amal kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya semata.” (HR. Nasa’i).
Kapan Sebaiknya Diam?
Ada saat-saat dimana diam lebih utama daripada berbicara. Jika merasa sulit menjaga niat atau takut terjerumus ke dalam dosa riya, lebih baik menyembunyikan amal sholeh.
“Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya… salah satunya adalah orang yang bersedekah dan merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kesimpulan
Jadi, menceritakan amal sholeh adalah “pedang bermata dua”. Ketika dilakukan dengan niat tulus untuk menginspirasi dan memberi teladan, hal ini bisa menjadi pahala yang besar.
Namun, jika dilakukan untuk mencari pengakuan manusia, amal tersebut bisa menjadi sia-sia. Nah, sekian artikel kali ini. Yuk, ikuti informasi seputar Islam lainnya bersama kami di Rumah Zakat.