Ramadhan telah berlalu, berganti dengan bulan Syawal, bulan ke sepuluh dalam penanggalan Hijriyah. Secara harfiah, syawal berarti peningkatan. Secara maknawi berdasarkan ilmu otak-atik-gathuk dapat diartikan sebagai masa peningkatan amal ibadah yang sebelumnya selama sebulan penuh ditempa habis-habisan di bulan Ramadhan.
Kebaikan-kebaikan bulan Ramadhan selayaknya bisa dipertahankan di bulan Syawal, bahkan ditingkatkan. Yang sudah mengetahui berbagai kebaikan dan keutamaan ibadah di bulan Ramadhan, tentunya akan merasa sedih manakala Ramadhan berlalu. Akan tetapi, kebanyakan orang tidak merasakan kesedihan, bahkan lebih sering mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang meluapkan kegembiraan saat bertemu dengan hari kemenangan -mohon maaf diulangi lagi di sini-, padahal tidak semuanya layak mendapat kemenangan yang sejati. Idul Fitri sendiri semakin lama semakin identik dengan mudik, silaturahim, pakaian baru, makanan lezat, dan lain sebagainya yang bersifat konsumtif. Bahkan ada sebagian yang memaknai sebagai awal dari kebebasan melakukan berbagai macam hal yang pada Ramadhan sebelumnya dikekang.
Nah, salah satu cara mempertahankan kebaikan-kebaikan Ramadhan agar terus berlanjut di bulan Syawal ini dan seterusnya adalah mengikuti sunnah-sunnah yang telah diajarkan antara lain dengan puasa 6 hari di bulan Syawal. Menurut salah satu hadits riwayat Muslim, “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan syawal, maka (pahalanya) seperti berpuasa selama satu tahun”…
Sunnah ini banyak diikuti oleh ulama-ulama terdahulu di Indonesia sehingga timbullah budaya Syawalan yang jatuh pada hari ke tujuh di bulan Syawal. Di banyak daerah, telah lama ada kebiasaan dimana setelah Idul Fitri banyak orang kembali berpuasa, yaitu di tanggal 2 sampai 7 Syawal, baru kemudian merayakannya dengan Lebaran Ketupat (di Jawa biasa disebut Bakda Kupat).
Saya tidak tahu mengapa lebaran (di banyak tempat di Indonesia terutama di Jawa) juga identik dengan ketupat. Bisa jadi karena saat lebaran tidak sempat berulang kali memasak sehingga dipilihlah ketupat yang lebih tahan lama dibandingkan nasi biasa. Namun, dari cerita-cerita orang tua, ketupat ternyata memiliki makna filosofi tersendiri.
Makna Filosofi Ketupat
1. Janur Kuning. Kebanyakan ketupat dibuat dengan janur kuning, walaupun sesekali ada juga yang membuat dengan daun kepala yang sudah agak tua yang warna hijaunya lebih tua. Menurut cerita orang-orang tua terdahulu, janur kuning merupakan perlambang sebagai penolak balak. Tidak hanya untuk ketupat, janur kuning sebagai penolak balak juga digunakan dalam acara lain misalnya saat hajatan pengantin. Dalam falsafah Jawa, janur bermakna sejane ning nur (arah menggapai cahaya -maksudnya cahaya Illahi-). Adapun kuning bermakna sabdo dadi (yang dihasilkan dari hati atau jiwa yang bening). Dengan demikian, penggunaan janur kuning dalam membuat ketupat atau dalam berbagai hajatan itu mengandung cita-cita untuk menggapai atau memperoleh nur Allah dengan hati atau jiwa yang suci atau bening. Atau keadaan hati dan jiwa manusia yang suci setelah mendapatkan nur (cahaya) dari Allah.
2. Bentuk Segi Empat. Asalnya yang memiliki makna filosofis itu adalah ketupat yang berbentuk segi empat yang menunjukkan empat penjuru mata angin, namun sekarang ketupat juga dibuat dengan lebih variatif. Bentuk segi empat ketupat melambangkan “kiblat papat limo pancer” atau empat arah mata angin dan satu pusat. Bentuk ini mencerminkan kesimbangan alam. Secara religius bermakna bahwa kemana pun manusia itu berjalan pasti selalu menuju ke satu arah yaitu Allah, Sang Khalik. Sedangkan secara akhlaki, mencerminkan empat macam nafsu manusia, yaitu amarah (nafsu emosional) aluamah (nafsu untuk memuaskan rasa lapar), supiah (nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah), dan mutmainah (nafsu untuk memaksakan diri). Keempat nafsu ini hanya mampu ditaklukkan oleh satu amaliyah, yaitu dengan berpuasa. Dalam tradisi ketupat lebaran, disimbolkan bahwa seseorang yang memakan ketupat, orang itu dianggap sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut.
3. Anyaman ketupat. Gabungan janur kuning yang membentuk menjadi anyaman juga memiliki makna filosofis. Bagi orang Jawa, anyaman tersebut memiliki makna berbagai kesalahan dosa manusia. Secara religius manusia itu tempatnya kesalahan dan kealphaan. Adapun ketupat setelah dibelah dua dengan pisau menampakkan warna putih. Ini bermakna kebersihan dan kesucian manusia. Dalam tradisi lebaran, kebersihan dan kesucian itu hanya dapat diperoleh setelah tuntas melakukan amal ibadah selama bulan Ramadhan.
4. Beras. Dalam tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia, beras memiliki arti khusus. Ia melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan. Adapun beras dalam ketupat bermakna setelah hati dan jiwa manusia itu bersih dari empat macam nafsu itu, maka manusia akan memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan. Dengan demikian, bisa dimaknai pula bahwa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat itu hanya dapat diperoleh jika manusia dalam masyarakat itu memiliki hati dan jiwa yang bersih dan suci.
Sebetulnya tidak ada keharusan berlebaran dengan ketupat, juga tidak ada ketentuan bahwa puasa sunnah di bulan Syawal harus di awal bulan atau harus berurutan. Akan tetapi kebanyakan melakukannya di awal bulan karena lebih ringan dilakukan. Maklumlah, sebelumnya sebulan penuh melakukan puasa Ramadhan sehingga ritme metabolisme tubuh sudah cukup terbiasa. Ini sah-sah saja dan baik untuk dilaksanakan. Dengan atau tanpa ketupat, sepertinya kebaikan-kebaikan di bulan Ramadhan terlalu sayang untuk ditinggalkan begitu saja…
Apakah sedulur sudah menikmati ketupat lebaran? Apakah sedulur berpuasa 6 hari di bulan Syawal ini? Mari kita jaga kebaikan-kebaikan tidak hanya di bulan Ramadhan dan bulas Syawal saja melainkan di bulan-bulan selanjutnya sampai kita bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Insya Allah…
http://andy.web.id/mempertahankan-kebaikan-ramadhan.php