[:ID]BLORA. Hidup di desa pinggiran hutan jati blora yang panas menyengat, terdapat keluarga kecil yang sederhana dan mandiri. Mbah Dami namanya. Wanita yang sudah berusia 53 tahun itu berprofesi sebagai pedagang kecil yang menjual aneka makanan, mulai dari lontong, tempe goreng, peyek kacang, tahu isi, krupuk, bakwan dan tentunya pecel serta sambal kacang dicampur ketela yang menjadi andalannya.
Sejak pukul 06.00 pagi, Mbah Dami mempersiapkan semua dagangannya dibantu oleh anak perempuannya. Meskipun zaman sudah modern, akan tetapi alat masak yang digunakan Mbah Dami masih menggunakan kayu bakar.
Semua upaya yang dilakukannya untuk bertahan hidup, ternyata usaha yang ia lakukan belum sebanding dengan penghasilan yang ia dapatkan. Seringkali pendapatannya tidak sesuai dengan pengeluaran yang ia belanjakan untuk kebutuhan sehari-harinya. Di tengah harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik rakyat kecil, ia tetap bertahan untuk menyambung hidup keluarganya.
Mbah Dami hidup bermasyarakat di desa yang kental dengan kebersamaan dan kekeluargaannya. Ia bersyukur bisa tinggal di desa yang masih menjunjung tinggi toleransi. Di sisi lain, terkadang ia kesulitan untuk mencari uang tambahan ketika salah satu tetangganya mengadakan hajatan. Dengan demikian, biaya pengeluarannya pun semakin besar, sedangkan penghasilannya sebagai pedagang pecel tidak bertambah.
Dalam sehari, pendapatan Mbah Dami berkisar antara Rp. 50.000-Rp. 90.000. “Ya, lumayanlah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun hanya jualan lontong, pecel dan gorengan, yang penting halal dan barokah” ujar wanita yang sudah menginjak usia 53 tahun itu.
Dalam dunia usaha, penghasilan pedagang tidak akan menentu. Begitupun dengan Mbah Dami yang hanya berjualan lontong, pecel dan gorengan. Meskipun begitu, setidaknya dengan semangatnya untuk bertahan hidup dan membantu suaminya untuk mencari nafkah, seorang Mbah Dami yang tidak lagi muda tetap mempunyai keinginan untuk berusaha, tidak memminta-minta yang membuat orang lain iba.
Newsroom/Dian Ekawati
Blora [:]