oleh Rachmatullah Oky Raharjo
Pengamat Sosial
Lulusan Pondok Pesantren Darussalam Gontor
Salah seorang kawan penulis bertanya dengan sedikit “menggoda”. Pertanyaannya adalah, mengapa Allah tidak memberikan hidayah yang sama kepada semua orang, sehingga semua orang beriman kepada Allah? Dan kalau memang Allah memilih hanya bebrapa hamba-Nya saja untuk menerima hidayah, bukankah orang-orang kafir itu bisa “protes” kelak di yaumil hisab, karena mereka kafir disebabkan Allah yang tidak memberi mereka hidayah?
Benarkah demikian keadaannya? Benarkah Allah hanya memberi hidayah kepada orang-orang tertentu saja?
Kata Hidayah, menurut Prof. Quraisy Shihab secara maknawi berarti “memberi petunjuk kepada sesuatu” atau “memberi hadiah”. Sedangkan secara makna qurany sebagaimana yang tercantum dalam AL-Quran, hidayah setidaknya memiliki dua makna:
1. Ad-dilalah wal-irsyad (menunjuki dan membimbing) (QS Fushshilat:17)
2. Idkhalul iman ilal qalb (memasukkan iman ke dalam hati, atau menjadikan seseorang beriman). (QS Al Qashash:56)
Kalau begitu, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana wujud hidayah Allah itu? Bagaimana wujud bimbingan dan petunjuk Allah itu? Kenapa kita harus “menunggu” datangnya hidayah Allah untuk berubah ke arah kebajikan?
Sobat Zakat,
Sesungguhnya hidayah Allah itu banyak mengitari kita. Para ulama merumuskan ada 4 jalur hidayah yang diberikan Allah kepada kita. Dan untuk hal itu, kita tidak harus menunggu agar mendapatkannya. Empat petunjuk dan hadiah yang yang Allah sudah berikan kepada kita, entah itu disadari ataupun tidak adalah:
1. Insting
Insting atau naluri adalah pola perilaku atau reaksi yang Allah berikan kepada kita tanpa perlu kita pelajari sebelumnya. Hidayah berupa rasa lapar yang memaksa kita mencari makanan. Hidayah berupa rasa takut yang melindungi dari bahaya. Hidayah berupa naluri untuk saling mencintai yang membuat manusia berkembang biak. Dan lain sebagainya.
Pernahkah Anda melihat video mengenai inisisasi dini? Yaitu sebuah video yang menggambarkan bagaimana insting seorang anak manusia yang sejenak baru terlahir, kemudian di letakkan di perut ibunya. Lalu secara naluriah dia merangkak berusaha mencari puting susu ibunya dan meminum air susu daripadanya. Padahal ilmu kesehatan menyatakan, bahwa bayi yang baru lahir penglihatannya sama sekali belum sempurna. Subhanallah.
Siapakah yang mengajarkan kepada bayi yang baru lahir itu kalau dia harus minum ASI sebagai makanan pertamanya? Siapakah yang memberi petunjuk padanya bahwa air susu itu terpancar dari payudara ibunya? Siapa juga yang menjelaskan padanya tentang bentuk payudara ibunya itu, sehingga si bayi tidak “tersesat” dengan merangkak ke arah kaki, atau hidung, atau malah mengisap telinga ibunya? Mengapa bayi itu seakan-akan sudah tahu kemana arah yang harus dia tuju untuk mendapatkan ASI?
Itulah Hidayah pertama yang Allah berikan untuk kita hambaNya. Sebuah bimbingan dasar yang juga Allah berikan kepada segenap makhluk hidup lain.
2. Hidayatul Khawas (Indera)
Petunjuk kepada keselamatan kedua dari Allah adalah Indera kita. Karena sebagai manusia, Insting dan naluri saja belumlah cukup adanya.
Dengan indera inilah, maka naluri manusia itu diarahkan. Secara naluriah manusia akan mencari makan di saat lapar, tapi lidahlah yang kemudian “memilihkan” makanan yang layak masuk ke dalam tubuh dan yang tidak. Secara naluriah pula, manusia waspada bila mendengar sesuatu yang mengejutkan. Tapi telinga dan hati kitalah yang pada akhirnya membedakan, mana suara panggilan dan mana suara ancaman. Singkatnya, manusia diberikan derajat yang lebih baik lagi dibanding makhluk Allah lainnya dengan diberikannya indera.
Dan sebagai Hidayah dari Allah, Indera kita tidak akan pernah memberi petunjuk kepada sesuatu yang menyesatkan. Coba saja rasakan, bagaimana secara reflek mata kita menyipit ketika melihat cahaya yang berlebihan yang masuk. Bagaimana juga kita lihat tangan kita secara cepat menarik diri ketika memegang sesuatu yang menyakitkan. Bahkan lidah kitapun, ketika pertama kali merasakan alkohol, asap rokok, racun dan sembarang makanan berbahaya lain, akan memberikan respon penolakan pada awalnya. Ini semua karena Indera memang diciptakan Allah sebagai penunjuk jalan. Sebagai pembimbing bagi kita untuk menikmati hidup lebih baik lagi.
3. Hidayatul ‘Aqly (Akal)
Subhanallah, ternyata naluri dan Inderapun belum cukup untuk memberi peringatan dan pengajaran kepada manusia. Barangkali memang cukup untuk sekedar bisa hidup dan beranak-pinak di dunia ini. Akan tetapi, bukankah tujuan utama diciptakannya manusia adalah menjadi khalifah di muka bumi? Tentu belum cukup “modal” menjadi khalifah kalau hanya mengandalkan indera dan naluri. Maka Allah memberi kita “software” sekali lagi. Dia lah akal.
Ya, akal itulah hidayah ketiga yang diberikan kepada kita. Akal menyempurnakan apa yang sudah diperoleh dari naluri dan indera kita. Akal menjelaskan tentang sebuah kejadian yang hanya tertangkap sekilas oleh indera. Akal memberikan jawaban dari sebab akibat setiap perilaku yang kita lakukan.
Naluri dan indera kita menuntun untuk menghindari sesuatu yang bersifat panas membakar. Indera kita memberi tahu, seberapa panas barang itu dengan merasakannya. Tapi ternyata indera kitapun “berbohong”. Karena apabila tangan kita-misalnya- menyentuh air panas lalu kemudian ganti menyentuh air dingin, maka air dingin itu ternyata akan terasa hangat, meskipun pada hakekatnya adalah dingin. Maka akallah yang kemudian menuntun tentang berapa derajatkah panas air itu. Jadi sekedar naluri dan indera saja, belum cukup untuk memberi petunjuk kepada manusia.
Berakal berarti bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Berakal berarti mampu memisahkan mana yang hak dan mana yang batil. Berakal berarti mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah. Berakal berarti bisa lebih berhati-hati lagi menyikapi sesuatu. Berakal berarti mampu mengembangkan diri untuk hidup lebih baik dan lebih terhormat lagi.
4. Hidayatu Ad-Dien (Hidayah Agama)
Akal sekalipun sesungguhnya juga sangat terbatas kemampuannya. Sering aal buntu menjawab beberapa pertanyaan mendasar mengenai manusia. Seperti awal bagaimana manusia itu ada, hendak kemana kelak manusia akan menuju dan siapa Dzat Maha Cerdas yang mengatur perputaran alam ini dengan sedemikian sempurna?
Manusia dengan naluri, indera dan akalnya berusaha meraba-raba akan jawaban semua pertanyaan itu. Maka terkadang manusiapun terjatuh pada kesimpulan yang salah. Karena keterbatasan akal, banyak manusia yang pada akhirnya menuhankan benda, pepohonan, gunung, lautan, matahari, ataupun roh-roh leluhur yang diyakini menguasai dan mengatur alam semesta ini.
Untuk itulah Allah menurunkan agama sebagai hidayah pamungkas. Aturannya tertulis rapi dalam lembaran mushaf dan hadis Rasulullah. Begitu terperinci dan sempurna memberi jalan dan tauladan. Begitu indah dan tepat memberikan argumen dan jawaban dari setiap pertanyaan. Begitu teratur dan lugas melukiskan harapan sekaligus ancaman dari tiap-tiap perbuatan. Begitu tepat dan meyakinkan menjelaskan fenomena alam yang menakjubkan. Begitu santun dan sejuk mengajak manusia ke jalan kedamaian. Isinya begitu selaras, serasi, dan seimbang dengan fitrah insani. Tidak berlawanan dengan naluri, tidak bertentangan dengan sentuhan indrawi, dan bahkan menjadi pelurus dan pembimbing arah berpikir bagi akal yang terbatas ini.
Jadi ketika kita temui seseorang yang menolak ajakan kita menuju kebaikan misalnya. Lalu beralasan bahwa “Allah belum memberiku Hidayah”. Maka coba anda tanyakan kepadanya, apakah Allah belum memberinya naluri yang memberi petunjuk awal bagaimana hidup dengan baik? Apakah Allah belum memberikan kepadanya lima indera yang menuntunnya mengembangkan diri? Apakah Allah juga tidak memberinya akal untuk berpikir dan membedakan mana yang baik untuk diikuti dan mana yang harus ditinggalkan? Dan yang terakhir, tanyakanlah kepadanya, tidak cukupkah Nabi, Rasul dan Ulama yang membimbing kita untuk mengenal Allah dan segala ketentuannya?
Dan kalau jawabannya adalah “YA”, lalu apa alasannya menunda keridhoan Allah mengalir kepadanya?
Wallhua a’lam bi as-showab.