KREATIVITAS

oleh | Jun 23, 2010 | Inspirasi

Oleh AM Adhy Trisnanto*)
Marketing Consultant Rumah Zakat

Kreatif, kreativitas, istilah-istilah yang kerap kita dengar. Bermacam brand makanan bayi mengklaim punya kandungan tertentu yang mampu memicu dan memacu kreativitas sang bayi. Dan Presiden (2009) menyatakan bahwa Indonesia saat ini telah memasuki era ekonomi kreatif yang mengedepankan industri kreatif.

Apa itu “kreativitas”? Wikipedia mendeskripsikan kreativitas sebagai “proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru, atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada”. Maka, seorang yang kreatif adalah seorang pembaharu, inovator, yang tak henti-hentinya mencari dan berusaha menemukan sesuatu yang baru. Nah, karena yang baru itu selalu beresiko, maka seorang kreatif juga memiliki sifat risk-taker. Tanpa keberanian mengambil resiko, bagaimana mungkin seseorang mencari yang baru. Seperti halnya Laksamana Agung Muhammad Cheng Ho, utusan Dinasti Ming yang menjelajah 8 penjuru dunia dalam 7 kali ekspedisinya mengitari jagad.

Tapi sekedar risk-taker tidaklah cukup. Seorang kreatif juga punya daya imajinatif, mereka-reka wilayah-wilayah baru yang belum dikenal orang. Ada perasaan gelisah ketika dia mandeg berkepanjangan dalam sebuah situasi. Dari dalam dirinya ada motivasi untuk senantiasa bergerak maju. Daya imajenasinya didukung oleh intuisi, naluri. Ibarat sekawanan satwa di lereng Merapi yang tahu sebentar lagi akan ada prahara wedus gembel turun dari puncak. Mereka bergegas menuruni gunung mencari tempat aman, bahkan sebelum manusia dengan segala piranti canggihnya diperingatkan akan terjadi letusan gunung.
 
Daya imajinatif, intuisi, sifat berani mendada resiko, mendorong seorang kreatif untuk ringan bereksperimen. Dia melakukan berbagai improvisasi sehingga kemudian berhasil menghasilkan karya kreatif. Kita sering menyebutnya sebagai “terobosan”.

Kalau begitu, betapa sulitnya jadi kreatif! Semua kriteria di depan bukan hal yang bisa dipelajari. Semuanya seakan bakat bawaan sejak lahir. Benarkah begitu? Jawabnya: maybe yes, maybe no! Jangan lupa, manusia memiliki kemampuan intelektual, emosi, dan spiritual sekaligus. Maka dalam kadar tertentu hampir pasti setiap manusia punya daya kreatif. Mungkin kadarnya saja yang berbeda antara satu dengan yang lain. Mungkin kesempatan mewujudkan potensi kreatifnya saja yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, faktor pendidikan, pengalaman, dan lingkungan, sangat menentukan tumbuh suburnya kreativitas.
 
Coba bandingkan proses belajar-mengajar di negara-negara maju dengan sekolah-sekolah kita. Masih teramat banyak sekolah-sekolah di sini hanya mengedepankan pendidikan yang teramat formal. Mengasah otak kiri, mengabaikan otak kanan. Padahal beberapa pakar berpendapat pendidikan formal cenderung membunuh kreativitas. Ada benarnya. Coba saja kalau guru kita semasa kecil dulu tidak ”memaksa” kita menyatakan 1 + 1 = 2. Mungkin kita masing-masing akan cukup kreatif untuk mengatakan 1 + 1 tidak selalu 2. Bisa saja 4, seperti 1 bapakku ditambah 1 ibuku punya 2 anak. Jadi, 1 + 1 bisa jadi 4. Atau malah 1 + 1 = 11. Karena angka 1 disandingkan dengan angka 1 yang lain. ”Sayangnya” kita dipaksa mengakui kebenaran mutlak 1 + 1 = 2. Jangan coba-coba berimprovisasi dengan mengatakan yang lain, karena kita akan mendapat nilai merah, dan dikatai bodoh!

Di sekolah kita harus menghafal banyak hal. Kita tidak dibiasakan untuk menemukan sesuatu yang baru sendiri. Bahkan sampai jenjang perguruan tinggi kita masih saja sering menghadapi dosen yang terlalu berpegang pada text book. Mahasiswa tidak dibiasakan bertanya, apalagi menggugat. Ruang diskusi terkunci rapat-rapat. Mungkin saja ini akibat rendahnya pendapatan seorang guru dan dosen sehingga dia harus mengajar di banyak tempat. Dia tidak sempat memperbaharui ilmunya, tidak punya waktu cukup mempersiapkan diri sebelum mengajar, tidak siap ditanya hal yang sama sekali melompat dari bahan ajaran yang diingatnya. Tidaklah heran ada Manajer HRD yang cenderung lebih memilih sarjana bekas aktivis kampus yang menuai banyak pengalaman di luar bahan kuliahnya. Pengalaman menempa dirinya menjadi lebih kreatif (celakanya di kampus malah cenderung dianggap pemberontak).

Faktor lingkungan tak kalah pentingnya dalam menumbuhkan kreativitas. Sebuah kantor yang dikelola sangat one man show cenderung mematikan kreativitas. Kreativitas tidak dihargai, jadilah para staf bagaikan robot. Dipencet tombol kiri bergeraklah ke kiri. Sedikit melenceng ke kanan segera saja ”diluruskan” kembali. Bagaimana ciri kantor yang mengedepankan kreativitas? Ada ruang diskusi, brain-storming jadi kegiatan yang menyenangkan; belajar, meeting tidak dianggap pembuangan waktu; ada penghargaan terhadap temuan-temuan baru yang dihasilkan. Orang berani mengemukakan pendapat, tidak apatis karena menganggap apa gunanya kreatif malah dituduh yang tidak-tidak. Suasana kantor jadi hidup, tidak terasa monoton: pagi datang, absen, menyalakan komputer, duduk di depan komputer meskipun tidak jelas benar apa yang dilakukan, sebentar-sebentar memencet-mencet BBnya, sambil berharap segera datang jam istirahat. Cepat-cepat ke kantin yang disetarakan dengan surga. Balik lagi ke meja, pura-pura sibuk, menunggu jam pulang. Tepat jam kantor berakhir, kantor jadi sepi seperti kuburan. Padahal di kantor sebelah, lampu masih nyala sampai larut malam. Ada tawa lepas ada debat ramai, bukan perkara markus atau century, tapi masalah konkrit yang sedang dihadapi. Orang merasa bebas bekerja, dihargai sebagai manusia yang punya daya nalar, emosi dan spiritual tadi. Tanpa dipaksa-paksa hampir setiap orang merasa berkewajiban memberi kontribusi yang terbaik. Kerja baru berhenti ketika yakin sudah sampai titik maksimal: ”inilah terbaik yang bisa aku lakukan.”

Ada sebuah cerita, dari Pat Fallon, seorang advertising-man. Cerita ini dituturkan beersama Fred Senn dalam bukunya “Juicing the Orange”. Suatu saat dia mendapat tugas mempromosikan makanan anjing Purina Dog Chow. Waktu itu sales Purina lagi drop. Dan orang tidak tahu kenapa drop (padahal dalam semua hal, kita tidak akan mungkin menemukan solusi terbaik ketika tidak mampu mendeskripsi problem sebenarnya yang dihadapi). Orang-orang kreatif di agensi Pat tidak mau terjebak dalam ”pola” semua iklan makanan anjing selama ini: anjing lucu (dan mahal) yang berlarian kesana-kemari, di tengah keluarga yang tampak bahagia. Kemudian muncul seorang dokter hewan berjas putih mempromosikan makanan anjing. Account Planner Pat lalu melakukan observasi. Bukan observasi konvensional melalui riset kuantitatif dengan banyak responden, tetapi observasi di kalangan teman-temannya sendiri yang memelihara anjing. Si Account Planner mengunjungi rumah mereka. Mengamati bagaimana hubungan antara pemilik dengan peliharaannya terjalin. Bagaimana pola mereka memberi makan peliharaannya itu. Dia kemudian menemukan ternyata pemilik anjing peliharaan bisa dibagi dalam dua kelompok. Kelompok satu yang suka mengganti-ganti menu makanan peliharaannya. Mereka berpikir anjing sama dengan manusia, memiliki rasa bosan terhadap menu yang selalu sama. Sedangkan kelompok yang lain selalu memberi makanan yang sama kepada anjingnya. Kebiasaan mengganti-ganti makanan, mendorong orang untuk selalu mencoba merek-merek baru. Dan ini menggoyang posisi Purina sebagai market leader. Padahal para ahli menyatakan bahwa anjing sensitif terhadap pergantian menu makanan. Mereka tidak membutuhkan menu yang berbeda tiap saat. Anjing bukanlah manusia. Nah, temuan ini diangkat sebagai pesan utama kampanye Purina. Pat Fallon berhasil membalik keadaan Purina yang merugi menjadi market leader kembali.

Apa yang mau saya katakan adalah, bahwa kreativitas ternyata juga akan sangat dipermudah bila didasari kepada penguasaan persoalan yang dihadapi. Tetapi dengan pendekatan yang kembali ke nol. Seandainya Account Plann
er tadi tidak kembali ke nol (merasa sok pintar dengan menetapkan problem secara asumtif), maka hampir pasti Pat akan gagal memulihkan posisi Purina. Demikian pula halnya dengan semua orang kreatif: ada kesediaan untuk mencari tahu terlebih dahulu, tidak sekedar larut dalam pendapat umum.

Nah, tidak ada kata terlambat bagi siapa saja untuk menjadi lebih kreatif. Kuncinya: membuka diri terhadap hal baru, berimajinasi, mengasah intuisi, berani mengambil resiko, selalu mencoba dan berimprovisasi.  Senyum Indonesia akan makin merekah bila makin banyak anak bangsanya yang mau dan berhasil mengasah kreatifitas. Insya Allah.

__________
kembangkan dialog lebih lanjut dengan penulis lewat trisnantoadhy@yahoo.co.id