[:ID]PADENGGALNG. Malam itu, 22 Desember 2018, saat tengah tertidur lelap, Rusmini (60) warga Kampung Lantera Cigondang dikagetkan oleh suara teriakan tetangganya. Anaknya
kemudian memintanya untuk segera keluar rumah karena ombak tinggi datang.
Saat membuka pintu, air setinggi leher sudah menerjangnya. Setelah itu ia tidak ingat lagiĀ apa yang terjadi dengan dirinya.Kejadian itu menjadi peristiwa yang tidak akan terlupa baginya. “45 tahun ibu tinggal disini, baru kali ini air laut bisa setinggiĀ ini” ujarnya.
Sehari usai kejadian, anaknya kembali ke rumah untuk mengecek kondisi rumah. “Besoknya, anak pulang, terus ngabarin kalau rumah udah gak ada, gak ada barang-barang yang tersisa lagi” ujarnya sambil mengingat kejadian kala itu.
Ia, anak, menantu serta keluarganya selamat, namun adiknya yang malam itu tengah melaut hingga hari ini belum ditemukan. “Ibu udah ikhlas, karena kalau masuk laut jugaĀ gimana nyarinya” ujarnya dengan penuh ketegaran.
Pagi ini (10/1) saat kami temui, Rusmini sedang menggendong sebuah kasur basah. Di usiannya yang tak lagi muda, rusmini menggendong kasur itu kemudian menjemurnya diĀ atas puing-puing bangunan. “Ini kasur dari tetangga, masih bisa dipake, tapi basah jadi ibu jemur dulu neng” terangnya.
Meski rumahnya hancur, dan hingga saat ini belum dibangun kembali, ia mengaku hanya 12 hari di pengungsian dan memilih kembali ke Kampungnya.
“Tinggal di sini duluĀ neng, sambil apa yang ada, yang bisa di pakai ya dipakai, kalau pakaian sama makanan alhamdulillah dapat banyak bantuan, tapi kalau rumah belum bisa di bangun lagi”
jelasnya sambil menunjukan bantuan di sepetak rumah milik anakknya yg kini ia gunakan untuk tinggal.
Rumah kecil itu saat ini ia tinggali berempat dengan anak dan cucunya. “Pengennya sih rumah ibu bangun lagi, di sini sempit, banyak cucu-cucu. Tapi kan ibu belum kerja lagi, jadi ya disini dulu” ujarnya.
Ia menambahkan tetap ingin tinggal di sana karena disanalah sumber matapencahariannya. Sebelum terjadi tsunami, sehari hari ia bekerja menjual ikan asin untuk memenuhiĀ kebutuhan hidupnya.
Beberapa warga Lantera memang sudah mulai membangun kembali rumah mereka dengan memanfaatkan puing-puing yang ada. “Kalau mau ngontrak juga belumĀ ada penghasilan, belum bisa kerja, perahu semua rusak, jadi sekarang tempel-tempel aja apa yang ada, asal bisa untuk tidur” jelasnya.
Meski mengaku masih trauma, ia tetap memilih kembali ke Kampungnya dan bangkit memulai kembali hidupnya. “Kadang kalau ada suara keras gitu masih suka kaget, tapi kanĀ harus dimulai dari sekarang neng, masa iya mau di pengungsian terus, bergantung ke bantuan terus” pungkasnya.
Newsroom
Izzatul Yazid/ Lailatul Istikhomah[:en]PADENGGALNG. That night, December 22, 2018, while sleeping soundly, Rusmini (60), a resident of Lantera Cigondang Village was shocked by the noise of his neighbor’s shout.
Her son then asked her to leave the house immediately because tsunami came.
When opening the door, neck-high water hit her. After that she could not remember what had happened to her. The incident became an event that would not be forgotten for her. “45-year-old mother lives here, only this time the sea water can be this high,” she said.
The day after the incident, her son returned home to check on the condition of the house. “The next day, the child comes home, said that the house has destroyed, there are no items left anymore” he said while remembering the incident at that time.
She, her son, daughter-in-law and his family survived, but her brother who was fishing that night has not yet been found. “I let him go because it is hard to look for him in the sea,” he said with full determination.
This morning (10/1) when we met, Rusmini was carrying a wet mattress. At her age, which was no longer young, Rusmini carried the mattress and then laid it on the rubble of the building. “This is a mattress from a neighbor, it can still be used, but it is wet so i dried it first,” she explained.
Even though his house was destroyed, and until now it has not been rebuilt, he claimed that he was only 12 days in refugee camp and chose to return to his village.
“Stay here first, while what is available, what can be used is used, for clothes and food thank God, we get a lot of help, but the house can’t be built anymore”
She explained while showing help in the patch of her son’s house which she now uses to live.
The small house is currently occupied by four children and grandchildren. “I want the house to be built again, here is narrow, there are lots of grandchildren. But I could not go back to work yet, so I stay here for a while, “he said.
He added that she still wanted to stay there because that was where her livelihood was. Before the tsunami occurred, he worked daily selling salted fish to fulfill her daily needs.
Some Lantera residents have indeed begun to rebuild their homes by utilizing existing debris. “I can rent a house but I have no income yet, I could not go back to work yet, all the boats are damaged, so now just paste what is available, provided you can sleep,” she explained.
Although he claimed he was still traumatized, he still chose to return to his village and rose to his life again. “Sometimes if there is a loud noise, I still traumatized, but I should move onĀ notĀ depend on the assistance and continue staying at the camp” she concluded.
Newsroom
Izzatul Yazid / Lailatul Istikhomah[:]