Oleh R. Zainik Abidin Syah
Rumah Zakat-Pekanbaru
Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan salah satu ibadah yang disunnahkan dalam syariat Islam, dia merupakan pelengkap yang mengikuti puasa Ramadhan. Dan puasa ini juga sebagai pembuktian apakah kita mendapatkan jenjang ketaqwaan yang mejadi target dari puasa Ramadhan atau tidak. Di antara ciri taqwa kepada Allah tidak lain adalah orang-orang yang mengerjakan semua amalan yang sunnah setelah mengerjakan semua amalan yang wajib. Karenanya hendaknya seorang muslim mengamalkan puasa sunnah ini setelah dia mengamalkan puasa wajib Ramadhan. Rasullullah bersabda dalam hadits Abu Ayyub Al-Anshari:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutikan kepadanya enam hari dari Syawal maka itu nilainya seperti puasa setahun penuh, HR. Muslim. Hal itu karena satu kebaikan bernilai 10 kali lipat, sehingga puasa 30 hari Ramadhan bernilai 300 hari puasa, dan 6 hari Syawal bernilai 60 hari puasa sehingga totalnya 360 hari yang sama dengan setahun. Hal ini diutarakan oleh Imam Ash-Shan’ani dalam As-Subul (4/157).Berikut beberapa permasalahan yang sering dipertanyakan dalam masalah ini:
Apakah puasa Syawal harus dimulai pada tanggal 2 Syawal?
Tidak harus, puasa Syawal bisa dimulai kapan saja selama dia bisa menyelesaikan enam hari puasa itu di bulan Syawal. Walaupun tidak diragukan bahwa menyegerakan pengerjaannya itu lebih utama berdasarkan keumuman dalil untuk berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan dan dalil yang menganjurkan untuk tidak menunda amalan shaleh.
Apakah dipersyaratkan keenam hari puasa Syawal ini harus dikerjakan secara berturut-turut?
Hal itu tidak dipersyaratkan bahkan boleh mengerjakannya secara terpisah-pisah selama masih dalam bulan Syawal. Walaupun sekali lagi, mengerjakannya secara berurut itu lebih utama berdasarkan keumuman dalil yang kami isyaratkan di atas. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan selainnya.
Apakah puasa enam hari dibulan Syawal boleh dikerjakan sebelum mengerjakan puasa qadha bagi yang mempunyai tunggakan di bulan Ramadhan?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, hanya saja lahiriah hadits Abu Ayyub di atas menunjukkan bahwa puasa Syawal hanya disunnahkan bagi orang yang sudah selesai mengerjakan puasa Ramadhan yang jumlahnya 29 atau30 hari. Sementara orang yang mempunyai qadha tentunya puasanya kurang dari 29 hari maka dia diharuskan menyelesaikan dulu Ramadhannya baru kemudian mengerjakan puasa Syawal. Dari sudut tinjauan lain, puasa qadha adalah wajib sementara puasa Syawal adalah sunnah, dan tentunya ibadah wajib lebih didahulukan dari pada ibadah yang sunnah. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin ra. (lihat Asy-Syarhul Mumti’ 6/468).
Jika ada yang bertanya: Bagaimana dengan ucapan Aisyah, “Saya pernah mempunyai kewajiban puasa Ramadhan, lalu saya tidak bisa untuk mengqadhanya kecuali sampai datangnya Sya’ban. ”Bukankah ini menunjukkan Aisyah ra. berpuasa Syawal sebelum mengqadha? Karena qadhanya dikerjakan di Syaban tahun depannya. Maka jawabannya: Dalam ucapannya tidak ada sama sekali keterangan yang menunjukkan kalau beliau mengerjakan puasa Syawal, maka ucapan beliau tidak boleh ditafsirkan seperti itu. Karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa Aisyah ra. tidak mengerjakan puasa-puasa sunnah karena beliau sibuk mengerjakan ibadah yang jauh lebih utama dibandingkan puasa-puasa sunnah tersebut, yaitu kesibukan beliau melayani Rasulullah.
Dan tidak diragukan bolehnya meninggalkan sebuah amalan sunnah untuk mengerjakan amalan sunnah lain yang lebih besar pahalanya dibandingkan amalan sunnah yang pertama. Inilah jawaban yang tepat dalam rangka memadukan antara hadits Abu Ayyub dengan ucapan Aisyah di atas, wallahu a’lam.
Nah para sobat pejuang semua,marilah kita belomba-lomba dalam hal berbuat kebajikan dan tidak berubah sedikitpun jika bulan Ramadhan telah berganti.