Ketika Perjalalan Hidup Tak Lagi Menghibur

oleh | Jun 22, 2005 | Inspirasi

Pekanbaru, 22 Juni 2005.
Sebenarnya saya tidak pernah merencanakan perjalanan ini sebelumnya, baru hari itu, Kamis 9 Juni 2005 datang telfon dari Rumah Zakat Cabang Medan untuk menjemput bantuan kornet yang diberikan oleh Muslim AID dari Australia. Malam itu juga kami berdua utusan Rumah Zakat Cabang Pekanbaru berangkat ke Medan. Menumpang Bus Makmur Pukul 20.00 WIB malam itu kami memulai perjalanan ini.
Kerlap-kerlip lampu hias kota Pekanbaru, kami nikmati dari atas bus, sebenarnya kota Pekanbaru bukanlah kota yang terlalu besar, hanya sebuah kota yang berpenduduk 700 ribu jiwa dengan luas wilayah 155037,77 km2 atau 0,47 % dari seluruh wilayah Provinsi Riau termasuk wilayah lautan. Namun yang diterangi oleh lampu hias kota hanya 0.00 sekian persen saja dari luas yang ada, sehingga tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk melihat keindahan kota Pekanbaru di malam hari dengan gemerlap lampu hiasnya seperti kota-kota besar lain di Indonesia.
Kira-kira setengah jam kami telah meniggalkan kota Pekanbaru, tidak terlalu lama memang waktu yang dibutuhkan, dari dalam bus kami memperhatikan keadaan pinggiran kota Pekanbaru, ironis memang, ditengah kekayaan yang melimpah ruah dinegeri ini, ternyata tidak membuat masyarakatnya menjadi sejahtera semuanya, bahkan Kabupaten yang langsung berbatasan dengan Pekanbaru sebelah utara yaitu kabupaten Siak, diketahui memiliki PAD terbesar di Indonesia, masih banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan. Saya tidak tahu apa ukuran kemakmuran yang sekarang sedang diterapkan. Sesekali kami terlibat percakapan, mulai dari urusan Rumah Zakat sampai ke masalah politik.
Pukul 22.00 WIB kami telah memasuki wilayah Duri, yang termasuk ke dalam wilayah kabupaten Bengakalis, mungkin salah satu alasan mengapa truk trayek dari Jakarta ??? Medan kurang suka melintasi jalur ini adalah kondisi jalan yang sangat tidak layak untuk dilalui oleh kendaraan besar semisal truk, tronton bahkan bus, jalannya sempit juga berlobang. Disamping kelakuan para pemalak yang kerap beroperasi pada malam hari. Lagi-lagi saya mengatakan kepada saudara saya Ironis memang. Bengkalis termasuk kabupaten yang kaya di Indonesia, tapi satu minggu sebelum saya ke Medan saya juga ke Duri dalam rangka survei lokasi kantor cabang pembantu Rumah Zakat Indoensia. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan kabupaten dan kota lain yang ada di Riau yang dielu-elukan sebagai Provinsi terkaya di Indonesia dengan PADnya yang besar. Namun kemana perginya uang yang banyak itu, wallahu a???lam. Bahkan lebih tragis lagi Riau yang notabene penghasil Minyak Bumi untuk mendapatkan minyak saja susah apalagi ditambah harganya yang sangat-sangat mahal di ecerannya. Di Riau juga terdapat dua Pabrik kertas besar RAPP dan IKPP namun harga kertas tetap saja mahal, bahkan lebih mengherankan lagi lebih murah di daerah tempat importir kertas dari pada di Riau.
Sekarang kita tinggalkan Riau dengan segala suka dukanya. Kami tertidur sekitar dua jam dan terbangun lagi rupanya kami telah memasuki wilayah Sumatra Utara. Karena suasana terlalu malam kami kurang bisa memperhatikan keadaan kota-kota yang kami lewati. Sampai saat subuh menjelang bus yang kami tumpangi tidak pernah berhenti di jalan, sehingga sholat subuh kami lakukan didalam bus. Karena kondisi yang terlalu ngantuk kami baru tahu kalau telah sampai di kota Medan. Kami disambut oleh ribuan poster calon Walikota dan wakil Walikota Medan. Masing-masing calon dengan jargonnya pula. Ada yang berbunyi ??? Kota Medan Kota Metropolis, Madani dan Religius??? tapi ada jargon salah satu calon yang cukup menggelitik ???Jika saya terpilih maka pasar-pasar tradisonal akan dihidupkan kembali??? menarik memang. Ditengah kemegahan kota Medan dengan Mal dan Plaza-Plaza yang berjejal hampir di setiap sudut dan tengah kota, masyarakat pelaku bisnis kelas menengah kebawah yang hanya mampu bermain di pasar-pasar tradisional seakan tidak diperhatikan, bahkan kalau kondisi ini terus berkelanjutan, maka mereka akan gulung tikar. Dan yang lebih menyentuh lagi ???Kemana lagi anak-anak kita akan bermain bola kalau setiap jengkal tanah yang ada dijadikan untuk membangun Mal dan Plaza-Plaza???. Disampig ada juga spanduk salah satu calon yang membuat saya terasa mau muntah membacanya, ??? Sungguh naif menjual janji, karena itu dilarang agama,pilih yang telah berbuat untuk pembangunan kota Medan selama ini??? partai kami telah berbuat sebelum yang lain memikirkannya???. Tapi apakah masyarakat akan memilih calon yang mempunyai komitmen seperti ini atau tidak, wallahu a???lam. Masyarakat kita terkenal dengan pemaaf dan pelupa sehingga walauppun di zalimi selama bertahun-tahun giliran pemilihan mereka langsung lupa dan memiliki sifat ???mulia??? ini.
Satu hari kami di Medan sudah terasa mebosankan apalagi sampai bertahun-tahun, rupanya kornet yang direncanakan untuk diangkut hari itu juga, Jum???at 11 Juni 2005 gagal untuk diangkut dikarenakan proses penyelesaian dokumen atau admisntrasinya di bea cukai belawan belum rampung sehingga kami harus menunggu sampai hari selasa. Maasyaallah. Kami berusaha menghibur diri dengan berjalan-jalan di kota Medan pada Jum???at malam itu. Di perjalanan kami satu angkot dengan seorang penganut Kristen Protestan dan memiliki tempat ibadah di Gereja Metodhis Indonsia (GMI) Medan. Ibu itu memulai pembicaraan dengan menayanyakan, kami mau kemana dan tinggal di mana? Setelah kami jawab, giliran kami yang menanyakan ibu itu dari mana dan mau kemana? Dia menjawab dari rumah mau kegereja untuk do???a jum???atan. Saya terus bertanya kenapa sendiri, tidak ada kawan, atau diantar pakai mobil, karena kalau saya perhatikan dari penampilannya dia seorang yang berada, namun dia menjawab biasa naik ???sudako??? (sebutan untuk angkot di Medan). Dia melanjutkan, ???gereja kami menyediakan juga kendaraan antar jemput, tadinya saya mau di jemput namun karena ada tamu saya putuskan untuk naik angkot saja??? dalam hati saya berkata, seandainya setiap Mesjid memiliki fasilitas seperti ini, mesjid-mesjid yang ada akan penuh dengan jama???ah dan bahkan saya ingat perkataan seorang teman, kalau seperti itu mesjid yang ada tidak akan cukup untuk menampung para jema???ah. Subhanallah. Di kota Medan perbandingan antara Muslim dan Non Muslim 50:50, jadi untuk bertemu dan berdialog antar penganut agama sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kondisi beragama yang heterogen seperti itu kita dituntut ekstra hati-hati terutama untuk memilih tempat makan, di Medan biasanya warung makan Muslim ada Merek ???Kedai/warung makan Muslim??? atau ada bacaan Bismillahirrahmaanirrahiim dan ayat kursi yang terpampang walaupun kadang penjualnya seorang Muslimah yang tidak menutup aurat. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa dua jam kami kelilingi Medan Mal dan waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, namun kota Medan masih ramai seperti kota-kota besar lainnya. Aktifitas masyarakatnya malam itu bemacam-macam, mulai dari yang halal sampai yang haram.
Sabtu, 12 Juni 2005 rupanya ada keputusan Rumah Zakat Indonesia Medan bahwa kornet itu baru bisa keluar dari pelabuhan pada selasa malam, berhubung kawan satu perjalanan saya memegang peranan penting di Rumah Zakat Indonesia cabang Pekanbaru dan tidak bisa menunggu selama itu maka diputuskan beliau harus kembali ke Pekanbaru, tinggallah saya sendiri menuggu kornet sampai bisa keluar dari pelabuhan Belawan. Tepat Selasa malam kornet baru bisa dikeluarkan. Namun karena ada mis komunikasi antara pahak Rumah Zakat Indonesia dengan jasa pengangkutan kornet, maka kornet baru bisa keluar Medan pukul 23.00 WIB malam itu, alhamdulillah. Kebetulan waktu itu saya dapat truk dengan sopir asli batak dengan marga Simanjuntak, salah seorang teman berbisik kepada saya sebelum meninggalkan Medan, hati-hati di jalan karena sopirnya Kristen, saya diam saja menaggapinya, saya juga belum tahu pasti apakah sopirnya Islam atau kristen. Namun ketika saya menaiki truk itu saya melihat ada souvenis yang bertuliskan Allah dan Muhammad, tapi sepanjang perjalanan saya tidak pernah menanyakan keberadaan agamanya. Namun karena jarak Pekanbaru Medan cukup jauh dan kami melalui rute Medan-Sidempuan-Padang karena kornet harus didistribusikan juga di kota Padang. Sepanjang perjalanan saya tidak pernah melihat sopirnya dan kernet yang sekaligus sebagai anaknya melakukan sholat, ini mempengaruhi saya untuk mengambil kesimpulan bahwa dia adalah kristen, namun saya hilangkan saja perasaan seperti itu. Yang uniknya lagi dan mebuat saya senang adalah setiap berhenti makan alhamdulillah di warung nasi milik pengusaha Muslim. Jadi saya merasa dijaga oleh Allah sampai setiap waktu sahalat (saya melakukan jamak qasar setiap waktu sholat tiba) mereka membantu untuk mengingatkan dan kalau kita minta berhenti mereka ???sangat kooperatif???.
Akhirnya sampai juga perjalanan saya di kota Sidempuan, tepat pukul 21.30 WIB rabu malam, kebetulan Magrib dan isya belum saya tunaikan, dan malam itu saya harus sepakat dengan Sopir untuk menginap di kota Sidempuan tepatnya Kecamatan batang angkola di rumah sang sopir. Saya mohon izin ke anaknya untuk menunaikan sholat, dia langsung mengantar saya ke sebuah Masjid, dalam hati saya bertanya, kenapa tidak langsung di ajak kerumah saja? Tapi kembali saya berusaha menghilangkan pikiran yang seperti itu. Alhamdulillah saya sholat di mesjid dan ditunggu sampai saya selesai menunaikan sholat, saya diajak kerumah setelah selesai sholat, begitu saya menginjakkan kaki di rumah sang sopir saya langsung melirik ke dinding rumahnya, Subhanallah ternyata apa yang dibisikkan oleh teman saya waktu di Medan dan apa yang pernah ada dalam pikiran saya tidak benar, Sang sopir adalah penganut Islam, walaupun dalam kesehariannya tidak melakukan shalat, tapi sesuai dengan apa yang dipahami oleh masyarakat awam tentang Islam adalah lebih melihat simbol dari pada amalannya, saya mendapat pelajaran besar lagi bahwa memang betul, informasi yang kita dapatkan harus kita teliti kebenaran beritanya atau ???tabayun???, bukan hanya persangkaan atau ???zhon??? belaka. Satu hari penuh saya tinggal di kota itu, untuk menghilangkan kesuntukan maka saya berusaha menghibur diri dengan bercengkrama dengan masyarakat sekitar, mulai dari anak-anak sampai orang tua, saya sangat terharu, melihat kondisi masyarakat yang ada di kota itu, umumnya mereka menderita penyakit kulit, dari anak-anak sampai orang tua, mungkin salah satu faktornya adalah karena pasokan air untuk MCK terpusat di Meskid, jadi mesjid adalah tempat aktifitas masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan airnya, namun sangat ironis lagi, ketika mesjid ramai dikunjungi untuk aktifitas mandi, buang air besar maupun kecil, dan mencuci bahkan sampai aktifitas memandikan ternakpun mereka lakukan disana, mesjid yang menjadi simbol; kebangkitan umat kosong dari aktifitas ibadah. Ini saya saksikan sendiri ketika saya menunaikan sholat Shubuh dan Zuhur, bahkan sholat zuhurnya azan tidak ada, apalagi jema???ahnya, tapi saya tetap melakukan sholat di Mesjid tersebut walaupun tidak ada orang karena mesjidnya selalu di buka.
Pukul 14.00 WIB saya berangkat meninggalkan kota batang angkola untuk melanjutkan perjalanan menuju Padang, di perjalanan sang sopir mampir lagi ke rumah mertuanya, sembari menunggu cukup lama sekitar satu setengah jam, saya kembali melibatkan diri dalam percakapan dengan masyarakat sekitar, tidak lama berselang lewatlah seorang ibu lima puluh tahunan dari sebuah bis, dari penampilannya saya bisa menebak bahwa ibu itu pulang berjualan dari pasar tradisional di Kecamatan yang lain, terbukti dengan barang bawaannya berupa kantong palstik besar berisi rempah, karung berisi sirih dan banyak lagi yang lain, sampai saya memperhatikan sebuah karung yang isinya cukup padat dan dalam pikiran saya itu sangat berat untuk diangkat oleh sang ibu. Beliau menunggu angkutan berikutnya untuk menuju kampung tempat beliau tinggal, tidak berapa lama setelah itu angkotpun datang, dengan inisiatif sendiri saya berusaha untuk menolong sang ibu. Setelah angkotnya pergi saya kembali duduk di tempat semula, dan disamping saya ada seorang ibu yang belum terlalu tua, dengan bahasa batak yang kental dia bertanya kepada saya, namun karena saya tidak paham saya minta artikan apa maksudnya, lalu ibu itu tahu bahwa saya bukan penduduk setempat. Arti yang diucapkan ibu itu adalah ???Saya kira tadi ibunya, kok langsung nolong angkatin barang iti???? saya hanya tersenyum dan menjawab, ???bukan ibu saya???. Sepertinya mereka heran dengan kelakuan saya. Dalam pikiran saya kok aneh kelihatannya apa yang saya lakukan? Memang kalau saya perhatikan sekitar satu jam itu masyarakatnya cuek. Subhanallah. Pukul 15.30 WIB saya kembali melanjutkan perjalanan, ditengah perjalanan menuju Padang tidak ada kendala yang berarti, hanya satu kali truk yang saya tumpangi di cegat di tempat timbangan kendaraan, alasannya KIR truk itu tidak sesuai dengan kapasitas yang ditetapkan oleh Dinas Perhubungan Tingkat I Sumbar, saya tidak mengerti dengan masalah ini sampai-sampai kami akan ditilang dan disuruh ikut sidang di Padang, aduh, repot juga pikir saya, tapi sang sopir langsung keluar dan mengatakan kendaraan ini sduah lalu lalang dari Jakarta-Medan melewati trayek ini. Akhirnya kami dibiarkan pergi setelah sebelumnya petugas DISHUB meminta kami untuk meninggalkan uang untuk jaga malamnya, na???uzubillah bahkan sampai menyakitkan hati petugas itu mengatakan, sekedar ???uang Assalamu???alaikum lah pak???. Ucapan salam mereka permainkan untuk melegalkan praktek yang tidak legal itu.
Alhamdulillah kami memasuki kota Padang siang hari Jum???at, namun perasaan was-was tetap saja ada karena petugas lalu lintas dan LLAJ sudah siap-siap disetiap simpang. Mungkin sang sopir tidak terlalu was-was karena dalam pikirannnya tidak mungkin kendaraan kami di stop polisi karena telah melengkapi dokumen dan persyaratan lainnya. Namun itu diluar dugaan kami, dua kali kami dicegat di jalan dengan tujuan pemeriksaan, saya langsung turun dan alhamdulillah setelah saya jelaskan bahwa barang bawaan kami adalah Kornet Qurban bantuan Australia untuk rakyat miskin di wilayah sumatra, kami langsung di bebaskan dari pemeriksaan, pencegatan terakhir saya alami di perbatasan Sumbar-Riau, disini introgasinya agak lama, sampai saya menunnjukkan kartu identitas saya (KTP) dan setelah memberikan berbagai macam alasan saya langsung bisa dibebaskan.
Subhanallah dari perjalan lebih kurang sepuluh hari itu saya mendapatkan pelajaran yang sangat banyak. Dan ternyata memang Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku ini, belum seperti yang diharapkan oleh W.R Supratman, seandainya W.R Supratman masih hidup maka lagu Indonesia Raya Ciptaanya akan selalu dinyanyikannya setiap ada pemeriksaan di jalan dan apapun tindakan penyimpangan lainnya, dan jikalau W.R Supratman masih hidup saya akan minta izin untuk mengganti lafaz Indonesia Raya menjadi

Bangunlah Jiwanya

Bangunlah Badannya

Untuk Islam nan Jaya

Bukan untuk Indonesia Raya seperti sekarang ini. (Syafri Maltos, Staf Umum Cabang Pekanbaru)

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0