AM Adhy Trisnanto
Pernahkah Anda berpikir, apa yang seharusnya dilakukan seorang yang nyaris kelaparan tiap hari di bulan Ramadhan? Bukankah dia sudah berpuasa tiap hari?
Saya pikir, kelaparan karena terdesak keadaan dan lapar karena niat puasa adalah hal yang berbeda. Kelaparan adalah urusan fisik, sementara lapar puasa adalah urusan non-fisik. Kelaparan adalah keadaan yang biasanya dilawan para korbannya, sementara lapar puasa adalah keadaan yang secara sadar dijalani para pelakunya. Maka benarlah kata para ustadz, bahwa sia-sia belaka kita sekadar berlapar-lapar sepanjang hari di bulan Ramadhan. Kita cuma mendapat pengalaman rasa lapar yang memang membuat perih perut. Tetapi pikiran kita memastikan saat berbuka nanti akan ada hidangan buka puasa yang seringkali malah lebih mewah dari hari-hari biasa. Tidak jarang terjadi, selepas puasa berat badan seseorang bukannya menyusut tapi malah bertambah.
Kalau begitu, kenapa kita tidak berikhtiar memaknai puasa secara lebih spiritual? Makan, minum, sex, semuanya adalah kebutuhan “dasar” manusia. Bukankah menghindari kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan sadar merupakan sebuah usaha untuk mengosongkan diri? Bukankah mengosongkan diri dari kebutuhan tersebut merupakan pengingkaran atas kemanusiaan kita?
Pertanyaannya, kenapa kita diwajibkan untuk berpuasa? Sama dengan rukun yang lain, puasa menjadi ikhtiar kita untuk mendekat kepada Allah SWT. Kedekatan seseorang kepada-Nya menjadi tolok ukur kesuciannya. Dalam hal puasa kedekatan diikhtiarkan melalui pengosongan diri. Berangkat dari pemahaman bahwa dalam kekosongan (dari hal-hal dunia) Allah SWT berada: laa ilaaha illaallah. Ramadhan menyediakan waktu sepanjang hari agar kita secara intens mencoba mendekati Allah SWT, melafazkan nama-Nya terus menerus, seiring detak jantung kita.
Tingkat kesucian (baca: kedekatan kita kepada Allah SWT) dengan sendirinya akan mendorong kita untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk. Tetapi yang sering terjadi kedekatan itu tidak cukup terjaga sehingga setiap kali kita perlu mengulang melakukan pengosongan diri. Ibarat air bersih yang terbit dari mata air, dalam perjalanannya menyatu dengan samudera menerima beragam jenis sampah. Sampah-sampah itu tertinggal di pinggir pantai dan air mengalami pemurnian kembali, menguap, dan turun ke muka bumi sebagai hujan, meresap ke dalam tanah, muncul kembali sebagai air yang super jernih di mata air.
Mampukah kita menjadi air? Mampukah kita mengalami pemurnian? Mampukah kita kembali ke mata air? Semuanya bergantung kepada ikhtiar kita.