Salah satu kebutuhan paling dasar manusia adalah makan dan minum. Dalam Alquran, banyak ayat yang berbicara tentang perintah untuk memakan yang baik sebagai rezeki dari Allah SWT (QS 67:15, 34:15).
Tidak semua makanan dan minuman boleh dikonsumsi. Karena itu, Islam mengatur makanan yang boleh dan tidak. Jika dibolehkan, pasti baik kandungannya. Jika dilarang, pastilah mudaratnya.
Makan dan minum bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi menjadi sarana ibadah kepada Allah SWT. Ada empat tuntunan dalam perkara makanan.
Pertama, halaalan (halal atau boleh bukan haram), yakni makanan yang zatnya halal dan cara mendapatkannya benar (QS 2:168, 5:88, 16:114).
Kedua, thayyibaat (yang baik-baik), yakni makanan halal dan komposisi yang dibutuhkan. Sebab, makanan yang halal belum tentu thayyib apalagi yang haram (QS 2:172, 7:160, 20:81).
Ketiga, israaf (berlebih-lebihan), artinya berinfak atau makan sesuai kebutuhan saja. Bahkan, bersedekah pun tak boleh berlebihan (QS 3:147, 6:141-142). Keempat, tabziir (boros atau menghamburkan), artinya sedekah atau makanan tidak dihabiskan atau dibuang-buang (QS 17:26-27).
Puasa dengan menahan lapar dan dahaga bukan penyiksaan. Di balik setiap derita ada kepuasan. “Wa maa ladz-dzatu illa ba’da ta’bii” (Tiada kelezatan kecuali setelah kepayahan). Kelak di hari akhir, orang beriman dan beramal saleh, akan dihidangkan makanan lezat, lalu Allah SWT berfirman, ”Makan dan minumlah yang sedap.” (QS 52:19, 69,25, 77:43).
Kapankah makan paling nikmat? Nikmat ditentukan dua hal, yakni bahan atau rasa dan situasi atau suasana. Rasa enak itu relatif sehingga enak bagi seseorang belum tentu enak bagi orang lain. Yang penting bukan bahan atau rasanya, tapi situasi atau suasananya.
Ada tiga suasana yang membuat makan menjadi sedap:
Pertama, makan ketika lapar. Jika ingin makan enak, maka laparlah. Jika ingin minum yang sedap, hauslah. Allah SWT memberikan jalan agar kita lapar dan haus bernilai ibadah, yakni puasa (wajib dan sunah). Tak perlu makan obat untuk merangsang makan, tapi berpuasalah karena akan mendatangkan kebaikan (QS 2:184). Makan dan minum setiap hari sudah biasa. Tapi di saat berbuka, nikmatnya luar biasa.
Kedua, makan bersama orang-orang lapar. Jika yang pertama bersifat individual, nikmatnya personal, tapi yang kedua ini bersifat sosial sehingga kenikmatannya pun sosial. Buka bersama keluarga, kaum kerabat, dan jamaah. Ibadah puasa memberikan jalan untuk mendapatkan kenikmatan sosial, yakni makan bersama orang-orang yang berpuasa (iftar jama’i). Keberkahan akan turun kepada orang yang makan berjamaah (HR Muslim).
Ketiga, memberi makan orang-orang lapar. Inilah makan paling sedap, bukan hanya nikmat personal dan sosial, tetapi juga spiritual. Bersedekah dan makan bersama dengan mereka yang lapar adalah makan paling nikmat. Kegembiraan orang yang berpuasa itu ketika berbuka dan bersama orang yang berpuasa, apalagi bisa menghidangkan makanan.
Nikmatnya tak bisa diungkapkan karena rasa syukur ke hadirat Ilahi Rabbi hingga kelak gembira pula bertemu Sang Khalik (HR Muttafaq ‘alaih). Orang yang menyajikan takjil (hidangan berbuka) akan mendapat ganjaran seperti pahala orang yang berpuasa (HR Tirmidzi). Lalu Nabi SAW bersabda, “Para malaikat pun akan selalu berdoa untuk mereka agar diberi kebaikan.” (HR Abu Daud). Selamat menikmati.
Sumber: republika.co.id
Many examples of Prophet Muhammad’s Sunna in relation to manner in which he ate have reached the present day. Salient issues in these examples include his washing his hands both before and after eating, saying ‘In the Name of God’ before eating, praising God at the end of the meal and making supplication, everyone’s eating from in front of them in gatherings where food is consumed from one vessel, eating with one’s right hand, refraining from waste, not showing disfavor or dislike toward any kind of food and not making negative remarks in relation to these, refraining from filling the entire stomach with food and not eating while standing.
Notwithstanding the fact that the exact times are not known for certain, it is generally accepted that Prophet Muhammad ate twice every day.
By means of the Prophetic tradition, “When the supper is served to any one of you and the prayer also begins. (in such a case) first take supper, and do not make haste (for prayer) till you have (taken the food)” (Muslim, Masajid 66), the Prophet indicates the measures that need to be taken to ensure that one is not preoccupied with anything else during the prayer. However, it is also possible to extract from this tradition the meaning that dinner ought to be consumed between the evening (sunset) and night prayers.
Moreover, if we are to recall the Prophet’s advising his followers to sleep as soon as possible after performing the evening prayer, we can better understand that eating dinner in the middle of the night is not one of the practices of Prophet Muhammad.
http://www.lastprophet.info/prophet-by-questions/meal-times-and-the-sunna