Dalam agama Islam, jual beli
dihalalkan, tetapi dengan aturan tertentu agar tidak merugikan pihak-pihak yang
terlibat. Dalam muamalah dan jual beli, praktik riba diharamkan oleh Allah.
Namun, perlu dipahami bagaimana hukum jual beli secara kredit dalam perspektif
agama.
Jual beli kredit merujuk pada
pembelian dengan cara pembayaran harga secara berkala sesuai dengan kesepakatan
waktu tertentu. Dalam hal ini, penjual harus menyediakan barang secara kontan,
sementara pembeli membayar harga secara bertahap selama periode yang
disepakati. Harga yang biasanya disepakati dalam jual beli kredit cenderung
lebih tinggi daripada harga pasar sebenarnya jika barang tersebut dibeli dengan
pembayaran tunai. Kenaikan harga ini terjadi karena penjual ingin menambahkan
nilai atas pembayaran bertahap yang diberikan oleh pembeli.
Baca Juga: Hikmah Pengharaman Riba
Dalam konteks jual beli kredit,
terdapat pemahaman yang salah di kalangan beberapa masyarakat mengenai kesamaan
keuntungan yang diperoleh dari transaksi semacam itu. Perlu dicatat bahwa
praktik jual beli kredit juga pernah dilakukan oleh orang-orang nonmuslim pada
masa sebelum kenabian Baginda Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Namun, Allah dengan tegas membantah pandangan tersebut
melalui surah Al-Baqarah ayat 275.
Jual beli kredit dalam istilah fiqih
disebut dengan bai‘ taqsith. Adapun
jual beli dengan bertempo disebut dengan istilah bai’ bi al-tsamani al-ajil. Jual beli bertempo atau taqsith yang disertai dengan uang muka,
disebut dengan istilah bai’ urban. Ketiga-tiganya merupakan jual beli dengan
harga tidak tunai (harga tunda).
Dalam tinjauan fiqh kontemporer, bai’taqsith adalah praktik jual beli
dengan harga bertempo yang dibayarkan kepada penjual dalam bentuk cicilan yang
disepakati. Sementara itu, penjual menyerahkan barang dagangan (bidla’ah) yang dijualnya kepada pembeli
seketika itu juga pada waktu terjadinya akad.
Kewajiban pembeli adalah menyerahkan
harga untuk barang yang dibeli dalam bentuk cicilan berjangka. Disebut dengan
istilah bai’taqsîth adalah karena
memuatnya ia kepada sebuah bentuk transaksi jual beli dengan ciri harga yang
disepakati:
1. Sama dengan harga pasar
2. Lebih tinggi dari harga pasar, atau
sebaliknya
3. Lebih rendah dari harga pasar. Akan
tetapi yang umum berlaku adalah pada umumnya harga dari barang bai’taqsith adalah lebih tinggi
dibanding harga jual pasar.
(Lihat: Al-Qadli Muhammad Taqi al-Utsmany,
Ahkamu al Bai’al-Taqsith dalam Majalah Majma’ al-Fiqhu al-Islamy, tt, Juz 7,
hal. 596).
Imam Nawawi menyatakan di dalam kitab
Raudlatu al-Thalibin, bahwasannya jual kredit hukumnya adalah “boleh.”
Baca Juga: Jual Beli Kucing dalam Pandangan Islam
Ketentuan-ketentuan dalam jual beli kredit antara lain adalah:
1. Adanya kesepakatan antara penjual
dan pembeli tentang harga kredit dan jangka waktu pembayaran.
2. Penjual dan pembeli harus
menentukan akad jual beli yang ditawarkan, yaitu tunai atau kredit.
3. Ketentuan jual beli kredit dalam syara ‘hanya ada dua pihak yang terkait,
yakni pihak yang memberikan kredit (penjual) dan yang menerima kredit (pembeli).
4. Dalam jual beli kredit, ketika
pembeli telah menentukan pilihan atas opsi harga kredit yang ditawarkan, maka
harga itu berlaku secara mutlak, tidak bisa berubah.
5. Jika suatu saat pembeli tidak
sanggup untuk melanjutkan pembayaran angsuran, maka berhak untuk mengajukan
pemutusan akad kredit.