oleh Rachmatullah Oky Raharjo
Pengamat Sosial
Lulusan Pondok Pesantren Darussalam Gontor
Berpuluh-puluh tahun masyarakat dunia dicekoki propaganda Israel yang disebut memiliki tentara terhebat di dunia. Persenjataan canggih dan pendidikan kemiliteran yang langsung diperoleh dari Uwak Sam (US) plus kucuran dana segar sepanjang tahun dari segenap yahudian zion di seluruh dunia menjadikan mereka bukan hanya besar kepala, namun juga terlena. Mereka merasa sudah mengusai jajaran pasukan elit dunia. Apalagi ditambah “pelajaran sejarah” di sekolah-sekolah mereka yang selalu mengingatkan akan keberhasilan Brigade Golani, pasukan elit angkatan darat Israel yang demikian sempurna “menaklukkan” Palestina sekaligus negara-negara arab hanya dalam waktu 6 hari alias seminggu hari kerja kita. Dengan kerugian 400 pesawat milik Syuria dan mesir hancur, Israel hanya kehilangan 40 pesawat saja. Dan yang lebih menghebohkan lagi, pesawat –pesawat milik bangsa Arab itu hancur di landasan. Jadi telaklah kemenangan tentara zionis itu.
Bangsa Arab tertampar. Dunia Islam malu luar Biasa. Bagaimana singa-singa padang pasir itu babak belur dihajar oleh negara yang di peta sekalipun belum ada bentuknya. Dan kenangan itu senantiasa terukir dalam benak serdadu negara zionis itu. Di tambah saat ini, betapa kecanggihan senjata mereka betul-betul “kelewatan”. Bahkan ada selentingan kabar, kalau Israel dengan segala kekuatan dan kecanggihan yang mereka miliki, bisa menguasai Indonesia hanya dalam waktu 15 hari saja (Ini versi salah seorang petinggi angkatan darat). Maka lihatlah betapa jumawa-nya mereka. Tak ada satupun Negara yang –jangankan konfrontasi- mencela mereka secara resmi dalam bentuk celaan yang sebenar-benarnya karena tidak ada yang berani dengan kehebatan mereka itu. Kecuali palestina tentunya. Tak ada tandingan?? Tunggu dulu….
Empat tahun lalu, mungkin kita lupa oleh sejarah besar yang diciptakan sekelompok kecil serdadu gerilya dari pinggiran Libanon. Yup, gerilyawan Hizbullah yang memang selama ini dianggap kerikil kecil oleh Israel tersebut ternyata bukan saja mampu membuat kaki itu lecet tapi juga nyaris lumpuh. Sehingga bahkan sang Jendral, Dan Halutz pun rela mundur karena malu. Dahsyat-kah persenjataan mereka?? Secara kualitas iya. Beberapa Rudal mereka bahkan tak terditeksi jenisnya, tapi mampu menembus tebalnya dinding “MERKAVA”, tank andalan Israel. Tapi dibanding kekuatan Israel, tentu kualitas itu tak sebanding apa-apa. Dari kuantitas? Pasukan Hizbullah hanya punya 6000 pasukan regular terlatih dan 10.000 lainnya sukarelawan. Bandingkan dengan Israel yang punya 28.000 pasukan cadangan (semacam kostrad di Indonesia) dan hampir 2 juta pasukan regular dari tiga angkatan. Hampir sebanding dengan jumlah total pasukan TNI yang melindungi negara yang luasnya hampir 25 kali lipat negara yahudi itu.
Hanya itu? Tentu tidak. Petinggi Negara Yahudi itu tingal merengek kepada sang “Polisi dunia”. Maka dukungan tak-tik, persenjataan, dana dan propaganda mediapun akan meluncur deras kepada mereka. Hizbullah? Mereka hanya mengandalakan dukungan dari simpatisan syiah dari seluruh dunia. Dan juga dua media lokal, radio dan televisi al-manar.
Lalu bagaimana hasil akhir perang 40 hari itu? Israel kalah telak. Maksud hati hendak memaksa Hizbullah membebaskan dua serdadu mereka yang ditawan. Alhasil Israel kehilangan hampir 600 tentara dan 3 jenderal di pertempuran tidak seimbang itu. Yang lebih memalukan lagi, mereka tidak bisa lagi bermain propaganda dan menutupi kehancuran artileri mereka, termasuk sebuah kapal perang tercanggih yang ternyata mampu di bobol rudal katyusya milik Hizbullah. Apa yang menyebabkan tak tertandingi?
Kehendak Allah tentu adalah jawaban pertama. Tapi analisa militer menjawab lebih detail lagi. Apakah itu?
TERLENA. Ya mereka terlena oleh kenangan manis masa lalu dimana mereka bisa “menundukkan” liga Arab hanya dalam waktu 6 hari. Bertahun-tahun mereka dilenakan oleh kenangan manis itu. Bahkan begitu terlenanya, mereka bahkan sesumbar akan menguasai Semenanjung Sinai tahun ini. Mereka lupa, bahwa kehebatan tentara Israel masa lalu adalah karena mereka adalah alumni perang dunia kedua yang begitu dahsyat. Ditempa oleh ganasnya petempuran dan mental baja. Berpindah dari satu pertempuran ke petempuran yang lain. Dari satu strategi ke strategi lainnya. Lawannya pun tidak main-main, serdadu NAZI Jerman yang terkenal kejam dan pasukan hara kiri Jepang menjadi “lawan latih” mereka. Hal itu jelas membuat serdadu Israel waktu itu adalah “kopassus” kelas satu dengan dukungan infrastruktur terdahsyat. Tentu saja hasilnya sangat signifikan. Bukit Golani yang merupakan benteng terkuat milik Suriah berhasil dikuasai total. Sehingga Golani dijadikan salah satu nama Garda pertahanan elit angkatan darat mereka, Brigade Golani.
Kemenangan gemilang itulah yang membuat mereka lupa daratan. Maka setiap kali ada negara yang mencoba “mengganggunya”, maka Israel cukup memutar kembali kenangan manis mereka itu, tak perlu menyerang. Propaganda lewat media sudah cukup mengenai persenjataan mereka dan membuat musuh-musuh mereka “ngeper”. Kalau musuhnya masih “ngeyel” , ya tinggal merengek aja sama Amerika atau PBB. Maka negara-negara pengganggu itu harus siap menerima sanksi dan ultimatum, atau paling tidak masuk dalam daftar negara teroris yang siap digempur habis.
Begitu kuatnya diplomasi dan lobi Yahudi di PBB membuat serdadu mereka seperti “istirahat di tempat”. Mereka tidak lagi pernah berlatih untuk menghadapi pertempuran sesungguhnya. Pasukan elit Brigade Golani-pun, yang didukung senjata canggih hanya berlatih melawan anak-anak kecil di Gaza yang bersenajatakan batu dan petasan. Bayangkan, bertahun-tahun pasukan elit angkatan darat negeri zionis itu latihan rutin dengan anak-anak kecil dan orang tua. Persis kaya SATPOL PP latihan penggusuran. Senjata mereka-pun tak kalah “aneh”. Bahkan helikopter sekelas APACHE dengan rudal pembunuh kelas satu itu digunakan hanya untuk menewaskan seorang pria tua diatas kursi roda. Senjata-senjata canggih mereka yang lain, cukup diisi peluru karet lalu ditembakkan membabi buta di sekitar al-Quds, dan ketika kaum muslimin tidak bisa sholat Jumat disana, maka itulah kemenangan bagi serdadu “istirahat “ itu.
Maka ketika mereka memasuki pertempuran yang sesunguhnya, mereka tak cuma kalang kabut. Tapi juga ketakutan luar biasa. Dalam sebuah situs internet disebutkan, bahkan ada salah satu tersedu-sedu karena ketakutan. Kematian ibarat momok yang menghantui mereka. Mereka juga sangat terkejut . Bagaimana ketika mereka tidak lagi menemui batu beterbangan ke arah mereka, tapi adalah roket dan geranat, bahkan rudal yang siap merobek mereka. Bagaimana diplomasi mereka menjadi boomerang ketika Amerika yang mencoba membela mereka, justru dikecam oleh masyarakatnya sendiri yang sudah terlalu lelah dengan ulah koboi-koboi Pentagon itu. Mereka juga terlena karena mampu menguasai media massa dunia yang menguatkan propaganda mereka. Bahwa ternyata al-jazeera dan televisi milik Hizbullah Al-Manar mampu melakukan tusukan publikasi, baik dari korban “salah sasaran” mereka atau bahkan berita tentang keberhasilan Hizbullah mendaratkan rudal mereka secara tepat. Israel dihujat. Hizbullah di puja-puja. Harga diri bangsa Arab naik tinggi. Dan kini umat Islam terbuka, bahwa Israel bisa dikalahkan, bisa dipermalukan, bisa dihancurkan. Kalau dulu mereka perkasa menundukkan Palestina dan perbatasan Syuria serta Mesir dalam waktu 6 hari, saat ini setelah bertempur selama 40 hari, tidak satu desa-pun mereka kuasai dari tangan Hizbullah. Maka pantas kalau panglima angkatan perang mereka mengundurkan diri. Sangat pantas.
Terlena. Ya terlena oleh masa lalu. Terlena oleh kemenangan adalah bahaya laten setiap diri kita. Secara organisasi maupun pribadi. Israel kalah karena terlena. Dinasty Usmaniyah kalah kalah terlena. Baghdad tumbang oleh Jengish Khan karena terlena. Majapahit runtuh karena terlena. Orde baru runtuh juga karena terlena. Merasa nyaman, merasa aman, merasa sudah sukses, merasa mampu, merasa pandai, merasa hebat, tanpa saingan, tanpa halangan. Ibarat monyet yang diayun-ayun. Ketika tertidur, mudah saja untuk meruntuhkannya. Ibarat anak kecil yang selalu membawa selimut kumal kesayangan untuk tidur, bahkan di cuci pun dia tak mau.Maka penyakit pun akan mudah menyentuhnya.
Sejarah adalah pelecut untuk membuat sejarah baru yang lebih baik lagi. Kita harus berpikir, bukan bagaimana mengulang sejarah keemasan Islam masa lalu. Tapi harus berpikir bagaimana menciptakan kemenangan Islam masa lalu. Tapi banggalah, kalau kita sudah menciptakan kemenangan saat ini, hari ini, detik ini dan mewariskan kemenangan itu untuk generasi mendatang. Sebagaimana pepatah Arab :
“Inamal mar’u haditsun ba’dahu…Fa kun haditsan hasanan liman wa’aa”
(Sesunggunya Manusia itu menjadi kabar bagi generasi sesudahnya…Maka Jadilah kabar yang baik bagi orang-orang yang menyadarinya).
Jangan Terlena….The Sky has no limit…
Rabbi Zidnaa ilman war zuqnaa fahman…