“Dan Dia Menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin). Dan Allah Menerima tobat orang yang Dia Kehendaki. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah 9:15)
Hari ini atmosfir masyarakat kita disuguhi berita dari berbagai media yang sungguh membuat kita mengurut dada. Mulai dari kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang karyawan terhadap keluarga majikannya, seorang anak terhadap orang tuanya juga orangtua yang menghabisi anak-anaknya. Semua berawal dari rasa marah yang diaminkan oleh akal yang sudah tidak bernalar.
Lantas bagaimana dengan Islam mengatur itu semua? Apakah seorang pemimpin juga boleh meluapkan kemarahannya di manapun dan kapanpun dengan cara apapun kepada siapapun?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Definisi Marah
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh. Marah bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”
Mengelola Amarah
Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai cara yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca A’udzubillahiminasysyaithaanirrajiim. (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah. (HR. Ahmad)
4. Dianjurkan berwudhu’.
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring. (HR. Ahmad)
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Selalu Ada Bekas
“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari Muslim)
“Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai.” (HR. Ahmad)
Ingatlah amarah itu ibarat anak panah yang melesat dan tidak mungkin ditarik lagi. Ucapanmu yang menyakitkan akan menancap sekuat paku, sekalipun sudah dilepas dengan tang, maaf memaafkan, tetap saja meninggalkan bekas.
“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.” (HR. Thabrani)