Oleh: Budi Riana
Salah satu jalan hidup pejuang adalah mencintai. Dia sangat bergelora dalam perjuangan karena cinta bersemayam di hatinya. Dia rela mengorbankan apapun demi yang dicintainya. Namun tak sedikit pejuang yang ikhlas di medan jihad tapi terkapar di medan kehidupan nyata. Cinta yang sangat agung ia persembahkan untuk Rabbnya, tapi kadang ia gagal membangun cinta dengan sesamanya atau pendamping hidupnya. Di sinilah ungkapan yang tepat untuk cinta adalah “bangun cinta”, bukan “jatuh cinta”. Karena kalau jatuh pasti sakit rasanya bahkan bisa terluka pula.
Kalau cinta dimaknai salah maka ada ungkapan bahwa “cinta kadang bisa membawa derita”. Hal ini disebabkan sebagian besar dari kita memahami konsep cinta dengan “memiliki” atau “kebersamaan”. Hal inilah yang terjadi pada kisah Romeo dan Juliet. Bagi mereka, kalau tak bisa hidup bersama, mati bersama pun cukuplah. Mereka menderita bukan karena mencintai dan mungkin juga bukan karena cinta itu sendiri. Mereka meletakkan kebahagiaan pada cinta yang diterjemahkan secara salah. Kalau saja mencintai itu sudah cukup membahagiakan, tentu mereka takkan risau bahkan jikapun tak dicintai.
Anis Matta berkata tentang bagaimana meletakkan kebahagiaan: “Dalam cinta, kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Kita mencintai seseorang lalu kita menggantungkan kebahagiaan kita pada sebuah kehidupan bersamanya. Maka ketika ia menolak atau tak beroleh kesempatan untuk hidup bersama kita, itu menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai, dan mungkin juga bukan karena cinta itu sendiri. Tapi karena kita meletakkan kebahagiaan kita pada cinta yang diterjemahkan sebagai kebersamaan.”
Kita harus belajar dari Salman Al Farisi yang jatuh cinta pada seorang gadis Madinah. Karena ia bukan orang Madinah, kemudian ia mengajak Abu Darda sahabatnya untuk mengantarnya meminang gadis tersebut. Tapi kisahnya berakhir tragis, sang gadis lebih memilih pengantar daripada yang mengantar. Subhanallah! Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Cinta tak harus memiliki dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Nah, untuk semua sobat pejuang, marilah kita belajar mencintai dengan konsep yang lurus. Bahwa cinta harus dibangun, tak perlu berharap balasan. Cukuplah kebahagiaan kita pada mencintai. Kalaulah kemudian semua orang mencintai kita. Alhamdulillah, itu berarti karunia Allah pada kita. Tetaplah ikhlas dalam perjuangan, selanjutnya Allah yang akan memperjalankan kehidupan kita. Yakinlah dia akan memberikan takdir terbaik untuk kita. Hingga kita mendapatkan cinta hakiki kita dan kelak dipertemukan dengan dzat yang kita cintai, Allah SWT.
Disarikan dari Jalan Cinta Para Pejuang Salim A. Fillah