IMBANG

oleh | Jul 25, 2011 | Inspirasi

oleh: AM Adhy Trisnanto

Hampir tiap pagi, seorang isteri mengingatkan suaminya. ”Jangan membebani bahu kanan dengan tas, ntar jalanmu terlihat miring ke kanan.” Sang suami yang, entah kenapa, selalu menenteng tas laptop-nya di bahu kanan, mengangguk, dan tetap saja melenggang dengan laptop di kanan.

Beban di  bahu kanan dan kiri memang jadi tidak imbang. Bahu Kanan menerima beban lebih dan otomatis jadi merosot. Ketidakimbangan kanan-kiri ini lalu terlihat sebagai sesuatu yang tidak sedap dipandang, merusak akurasi, mengurangi estetika. Sama halnya dengan orang bermata juling, orang berlengan satu, atau hujan berbulan-bulan tapi panas yang sebentar.

Coba perhatikan: imbang, perimbangan, keseimbangan, senantiasa menyangkut dua unsur atau lebih, unsur satu beda dengan unsur lain. Keseimbangan tubuh manusia hadir karena ada kanan ada kiri, dan kanan lain dari kiri. Ga yakin? Coba pandangi diri Anda sendiri di cermin. Bayangkan telinga kanan menempel di tempat telinga kiri, atau lengan kanan terpasang di sisi kiri, atau tungkai kiri berganti posisi di sebelah kanan. Terbayang keanehan. Belum yakin? Coba ingat-ingat pengalaman Anda nonton akrobatik di sirkus. Ketika seseorang meniti seutas tali di ketinggian, dia hanya mampu berjalan dalam keseimbangan. Dia bisa memainkan keadaan imbang kanan-kiri dengan bantuan galah panjang. Seandainya dia condong ke kanan jatuhlah dia, begitu pula kalau condong ke kiri. Padahal kanan dan kiri situasinya sangat berbeda. Nah, benar kan: unsur-unsur yang menciptakan keseimbangan ternyata unsur yang berbeda.

Kalau segala hal sama, tidak lagi perlu keseimbangan yang ada adalah keseragaman. Persis seperti seregu taruna yang sedang berbaris. Dari topi, potongan rambut, baju, celana, sampai sepatu, bahkan kancing, persis sama. Tingginyapun terkesan sama karena memang diatur sedemikian. Keseragaman ini rusak ketika regu taruna tadi ada di sebuah lapangan upacara bersama regu-regu lain. Ada tentara, ada polisi, ada satpam, ada sipil, masing-masing dengan seragamnya sendiri-sendiri. Ada coklat ada biru ada putih ada kelabu. Keseragaman akan berganti jadi keseimbangan manakala masing-masing unsur berjumlah sama. Keseimbangan akan tiada ketika ada unsur yang lebih banyak jumlahnya dibanding regu lain.

Dalam keseragaman kita butuh persamaan, dalam keseimbangan kita butuh perbedaan. Tapi asal beda tidak otomatis menghasilkan keseimbangan. Keseimbangan terjadi ketika perbedaan-perbedaan itu mampu menghasilkan keserasian. Lihat bundaran yin-yang: putih dan hitam sama besar tapi beda posisi sehingga saling mengunci. Tengok juga gambaran kita di cermin, lengan kanan dan lengan kiri relatif sama besar tapi beda fungsi. Mereka siap bekerjasama, tak pernah saling berebut peran. Coba pejamkan mata kanan dan biarkan mata kiri menatap obyek. Lalu ganti pejamkan mata kiri dan biarkan mata kanan yang sekarang menatap objek. Apakah posisi objek sama di mata kiri dan kanan? Ternyata beda. Tapi tatap objek dengan dua mata kita, maka terjadi sinergi. Objek tidak lagi bergeser-geser posisinya. Mata kanan dan mata kiri kita mencari dan senantiasa menemukan keseimbangannya. Keseimbangan yang serasi.

Keseimbangan, itulah yang menggerakkan semesta alam dalam keserasian. Tidak ada yang njomplang, berat sebelah. Tidak ada bantai membantai, yang ada adalah sinergi. Tanaman tumbuh, berbuah. Buahnya dimakan orang dan satwa, bijinya kembali ke bumi, tumbuh lagi tanaman baru. Sebagai bagian dari semesta, menjadi tugas kita untuk senantiasa mengembangkan keseimbangan-keseimbangan baru dalam hidup ini: sedikit-banyak, kerdil-besar, lapar-kenyang, jatuh-bangun, muda-tua, pria-wanita, dekat-jauh, kabur-jelas, menerima-memberi, mengosongkan-mengisi, sederhana-mewah, badani-ruhani, gelap-terang, dunia-surga, ada-tiada.

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0