Setelah Ramadhan, kita akan memasuki bulan Syawal. Di awal
bulan ini ada hari Raya Idul Fitri, sebuah perayaan kegembiraan dan
kebahagiaan. Dalam tradisi di Indonesia, Idul Fitri dimanfaatkan untuk
silaturahim kepada sanak keluarga dan para sahabat serta teman sambil saling
mengucapkan selamat Idul Fitri dan saling maaf-memaafkan.
Jika Ramadhan merupakan waktu yang tepat untuk memperbaiki
hubungan dengan Allah Swt, maka Syawal dengan Idul Fitrinya adalah waktu
menjalin silaturahim dengan sesama.
Apakah kita telah sungguh-sungguh dalam melaksanakan
silaturahim? Apakah kita telah betul-betul tulus dalam saling maaf-memaafkan?
Ini pertanyaan mendasar untuk evaluasi diri sehingga makna Idul Fitri yang
identik dengan silaturahmi tidak semata-mata ritual sosial formalitas belaka,
tapi sangat kering dengan substansi dan makna.
Silaturahim yang bersifat formalitas dapat digambarkan
dengan masih adanya dendam di dalam hati, menyimpan kebencian, dan iri hati
yang pada akhirnya seperti tidak pernah silaturahim dan saling memaafkan.
Selain itu, dapat digambarkan pula dengan hubungan masih
seperti hari-hari sebelumnya yang suka menyakiti orang lain, gemar memfitnah,
rajin menjelek-jelekkan, serta menyalahkan orang lain sehingga seolah-olah
dirinya paling benar dan bersih.
Mengapa kita masih merasa benar dan selalu orang lain yang
salah? Analisis seorang ahli psikologi sosial, Les Giblin, dalam bukunya The
Art of Deaking With People, menyatakan seseorang akan cenderung menyalahkan
orang lain karena ia masih belum mampu mengatasi ketidakpuasan yang menyakitkan
diri sendiri. Orang tersebut, yang berarti juga kita termasuk di dalamnya, ada
masalah dalam dirinya.
Orang tersebut juga merasa masih banyak hal-hal yang belum
terpenuhi, padahal karunia Allah telah melimpah kepadanya. Ini adalah masalah
kesyukuran. Rumus sederhananya, makin kita banyak bersyukur, hati kita akan
semakin dekat dengan kebahagiaan, dan jika hati sudah bahagia maka relasi
sosial kita akan semakin baik, akan selalu berpandangan positif kepada orang
lain seperti yang diajarkan Allah dalam Al-Qur’an.
Meminta maaf dan memberi maaf membutuhkan ketulusan yang
didasari manusia tidak bisa terlepas dari salah dan khilaf. Menurut dia, tidak
ada manusia di muka bumi ini yang tampil sempurna tanpa salah sehingga jika ada
orang lain yang bersalah, tidak ada alasan tidak memaafkannya.
Oleh karena itu, jika ada orang lain yang salah kepada kita,
tidak ada alasan tidak memaafkan, karena pada sisi yang lain kita juga pernah
salah kepada orang lain. Memaafkan orang lain adalah jalan kita untuk menghapus
dosa-dosa kita kepada orang lain. Permohonan maaf kita kepada orang lain adalah
bentuk kejujuran kita bahwa kita adalah manusia yang penuh dengan salah karena
meminta maaf atau memberi maaf tidak berarti akan merendahkan harga diri kita,
justru akan mendudukkan kita pada sisi yang lebih mulia.
Sumber:
republika.co.id