Sesungguhnya, hakikat hari raya Idul Fitri adalah perayaan
kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad selama Ramadhan. Setelah
berhasill menundukkan nafsu, kita dapat kembali ke fitrah. Kembali ke fitrah
Idul Fitri berarti kembali ke asal kejadian.
Manusia terlahir tanpa beban kesalahan apa pun. Tiap insan
lahir suci tanpa noda dan dosa. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda dalam sebuah
hadits, “Setiap kelahiran itu adalah
fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan (anak-anak mereka) Yahudi,
Nasrani, ataupun Majusi.”
Idul Fitri ini juga populer dengan sebutan Lebaran. Lebaran
berasal dari akar kata lebar yang maknanya tentu agar di hari raya kita harus
berdada lebar (lapang dada). Sifat lapang dada untuk meminta dan sekaligus memberi
maaf (al-‘afwu: menghapus, yakni
menghapus kesalahan) kepada sesama.
Sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berbuat salah
dan khilaf, maka saatnya kita menyadari kesalahan dan berusaha kembali ke
fitrah dengan cara memperbaiki hubungan sesama (human relations) secara baik.
Hari raya Idul Fitri merupakan momentum untuk menyempurnakan
hubungan vertikal dengan Allah (hablun
minallah) dan secara horizontal membangun hubungan sosial yang baik (hablun minnannas). Dengan begitu,
terbentuklah garis plus tanda positif (+) dari persinggungan antara yang
vertikal dan horizontal tadi.
Sementara itu, dalam bahasa Madura, Lebaran/hari raya Idul
Fitri disebut telasan. Itu dari akar
kata ‘telas’ yang bermakna ‘habis.’
Jadi, telasan artinya ‘habis-habisan’
dalam melebur dosa, kesalahan, dan kekhilafan, baik terhadap Allah Swt. maupun
manusia sebagai sesama makhluk-Nya.
Makna telasan
jangan sampai bergeser, yakni bukan mau habis-habisan melebur dosa dan noda,
tetapi malah habis-habisan dalam memborong pakaian dan jajan lebaran.
Alangkah ruginya jika umat Islam tak memanfaatkan mudik
untuk mengonstruksi hablun minannas
dengan saksama dan optimal.
Selain itu, kita juga bisa memanfaatkan halalbihalal, yang merupakan tradisi khas bangsa, yang telah
diwariskan oleh nenek-moyang sejak bertahun-tahun. Barangkali ‘lembaga’ ini
bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk wadah silaturahim masyarakat.
Dengan catatan tidak mementingkan pesta dan hura-huranya,
akan tetapi lebih mengutamakan pendekatan kekeluargaan yang diwarnai kasih
sayang di antara sesama insan.
Semoga kita bisa dapat menjaga fitrah. Minal ‘aidin wal faizin (artinya: mudah-mudahan kita termasuk yang
kembali ke fitrah dan jadi orang-orang yang sukses).
Sumber:
republika.co.id