Seseorang dikatakan salatnya masbuk apabila ia terlambat mengikuti
salat secara berjemaah. Dikatakan masbuk juga apabila seseorang salat namun
imam sudah memulai salatnya sehingga ia terlewat beberapa gerakan atau rakaat
salat imam.
Terkait berimam kepada jemaah salat yang masbuk ini memang
ada perbedaan pendapat. Ada ulama yang membolehkan dan ada juga ulama yang
melarang. Sebelum membahas perbedaan pendapat dari para ulama tersebut, kita
harus mengetahui terlebih dahulu kondisi seseorang berimam kepada yang salatnya
masbuk. Berikut penjelasannya yang telah kami lansir dari buku Fiqih Praktis
Sehari-Hari karya Farid Nu’man Hasan:
Kondisi pertama:
seseorang dijadikan imam oleh jemaah di sampingnya, yang sama-sama masbuk,
dengan cara jemaah itu mundur. Sederhananya, jemaah yang masbuk itu menjadi
imam bagi jemaah yang masbuk juga.
Kondisi kedua:
ada orang lain yang baru datang ke masjid lalu orang itu menjadi makmum bagi
orang yang masbuk.
Baca Juga: Tata Cara Salat di Atas Kendaraan Bagi yang Mudik
Pendapat yang
Melarang
Kelompok ulama yang melarang berargumen bahwa tidak ada
dalil khusus yang menunjukkan tentang hal ini, malah yang ada sebaliknya, yakni
hendaklah menyelesaikan salat secara sendiri-sendiri. Dalil yang menjadi
landasan untuk menjadi makmum bagi orang yang masbuk adalah hadits dari Abu
Hurairah ra. berikut ini:
“Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda, ‘Jika sudah iqamah untuk salat, janganlah
mendatanginya dengan tergesa-gesa dan tidak sopan. Hendaklah kalian bersikap
tenang. Apa yang kamu dapatkan dari salat maka lakukanlah seperti itu. Adapun yang
tertinggal, sempurnakanlah kekurangannya.” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Kelompok yang melarang berimam kepada Jemaah yang masbuk
adalah dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah. Syekh Athiyah Saqr rahimahullah
dalam kitab Futawa Al-Azhar berkata:
“Adapun Hanafiyah,
mereka mengatakan tidak sah mengikuti orang yang masbuk setelah berdiri untuk
menyempurnakan salatnya. Kalangan Malikiyah mengikuti pendapat mereka atas hal
ini kalau makmum masbuk yang dijadikan imam sempat mendapatkan satu rakaat
bersama imam. Kalau ia tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam, kita
(tetap) boleh bermakmum kepadanya.”
Pendapat yang
Membolehkan
Bagi kelompok yang membolehkan mereka berpendapat bahwa
orang yang salat sendiri/munfarid itu
boleh diangkat jadi imam berdasarkan riwayat sahih. Sehingga, seseorang yang
masbuk dan sudah terpisah dari jemaah lainnya (yang sudah selesai salatnya), ia
sendiri boleh saja dijadikan imam oleh Jemaah masbuk yang lain.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., ia berkata, “Seseorang datang dan Rasulullah Saw. telah
selesai salat. Ia (Nabi saw.) berkata, ‘Siapakah di antara kalian yang mau
menemaninya?’ Kemudian, berdirilah seorang laki-laki dan salat bersamanya.”
(H.R. Tirmidzi dan Al-Baihaqi). Dikatakan bahwa laki-laki dalam hadits ini
adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
Baca Juga: Tata Cara Salat Istikharah
Perihal ini cukup banyak diriwayatkan oleh beberapa sahabat
Nabi Saw., seperti oleh istri Nabi Saw. sendiri, yakni Aisyah ra. dan Anas bin
Malik ra. Sehingga, diperbolehkan menjadikan orang yang sebelumnya salat
sendirian lalu menjadi imam bagi orang lain ketika ia tengah menunaikan salat
munfaridnya. Hal itu juga berlaku dan diperbolehkan untuk seseorang yang masbuk
mengimami masbuk lainnya ketika mereka lepas dari jemaah salat sebelumnya.
Pendapat yang membolehkan berargumen jika misalnya dilarang
oleh Rasulullah Saw., pasti Rasulullah Saw. akan mengingkari perbuatan Abu
Bakar ash-Shiddiq ra. dalam hadits di atas. Padahal, Abu Bakar ra. telah salat
sebelumnya. Selain itu, pihak yang membolehkan adalah dari kalangan Syafi’iyah
dan Hanabilah.
Lantas, bagaimana sikap kita? Sebagai muslim yang baik,
tentulah kita harus menghormati pendapat muslim yang lain. Jangan sampai
perbedaan fiqih seperti ini malah menghancurkan persaudaraan antar sesama
muslim. Alangkah lebih baik saling berlapang dada dan bertoleransi dengan
pilihannya masing-maisng. Wallohu’alam
bishawab.