Seperti yang dilansir dari buku Fiqih Praktis Sehari-Hari
karya Farid Nu’man Hasan, terkait zakat penghasilan atau zakat profesi ini
memang ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada ulama yang mendukung
zakat penghasilan seperti halnya Syekh Muhammad Abu Zahrah, Syekh Abdul Wahhab
Khalaf, Syekh Abdurrahman Hasan, dan Syekh Yusuf Al-Qaradhawi.
Alasan para ulama di atas mendukung adanya zakat penghasilan
ini ada beberapa alasan, yakni:
1. Karena zakat penghasilan itu berkaitan dengan
profesi yang menghasilkan uang.
2. Karena kekayaan yang dihasilkan dari penghasilan
itu sifatnya bisa berkembang, bertambah, dan tidak tetap. Sama halnya dengan
barang yang disewakan dan akhirnya menjadi mata pencaharian (Misalnya menyewakan
rumah, dll). Sehingga wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai nisab (batasan minimal harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya), walaupun tanpa haul
(batasan waktu satu tahun).
Baca Juga: Inilah Ibnu Sabil yang Berhak Mendapatkan Zakat
3. Karena di-qiyaskan dengan zakat tanaman yang
harus dikeluarkan oleh petani ketika panen. Sementara petani pun merupakan
profesi. Ulama yang kontra menolak pendapat ini mengatakan bahwa tidak bisa
di-qiyas-kan dengan zakat tanaman. Padahal, yang mendasari argumen ini karena
adanya qiyas yang membolehkannya membayar zakat fitrah dengan beras. Beras merupakan
makanan pokok sebagian negara. Sementara di kawasan Arab, zakat fitrah bisa
menggunakan kurma atau gandum. Seharusnya ulama pun menolak perihal zakat
fitrah menggunakan beras.
4. Karena ada perspektif keadilan. Maksudnya, zakat
penghasilan ini merupakan keniscayaan. Keadilan di sini agar mereka yang
berprofesi sebagai pengusaha, pengacara, dokter, dan pekerjaan bergengsi
lainnya bisa mengeluarkan zakatnya. Jangan sampai misalnya zakat diwajibkan
kepada petani yang penghasilannya bisa jadi tidak seberapa, sementara mereka
yang berpenghasilan mentereng berhak menimbun harta kekayaan mereka tanpa
dikeluarkan zakatnya karena tidak adanya kategori zakat mereka.
5. Karena
lebih mendekatkan pada kemaslahatan. Hal tersebut sesuai dengan surah
Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi, “Wahai
orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu …”
Sementara para ulama yang menolak adanya zakat penghasilan
ini mayoritas dari ulama Arab Saudi dan yang mengikuti mereka. Alasan para
ulama tersebut menolak adanya zakat penghasilan karena tidak adanya dalil dalam
Al-Qur’an dan sunah yang secara jelas menyebutkan wajibnya zakat penghasilan.
Baca Juga: Mengenal Zakat Emas dan Perak
Cara Menghitung Zakat
Penghasilan
Terlepas dari pro dan kontra zakat penghasilan, alangkah
lebih baiknya kita mengetahui bagaimana cara menghitung zakat penghasilan agar
bisa menghitung berapa jumlah zakat penghasilan yang harus dikeluarkan. Berikut
cara menghitungnya:
1. Bagi yang memiliki penghasilan bulanan
Pendekatan yang diambil adalah dari zakat
tanaman. Sehingga nisabnya adalah 5 wasak
yang senilai dengan 653 kg gabah kering giling atau sebanyak 520 kg beras. Dan dikeluarkannya
2,5% saat menerima gaji setiap bulannya. Tidak ada haul (batas hingga harta terkumpul satu tahun) untuk mengeluarkan
zakat ini.
2. Bagi yang penghasilannya tidak bulanan
Misalnya: bagi penjahit, kontraktor,
pengacara, atau yang kerja berdasarkan proyek, atau sejenisnya, maka pendekatan
zakatnya menggunakan zakat harta. Yakni, nisabnya senilai 85 gram emas setelah
diakumulasi selama setahun setelah dikurangi utang konsumtif. Zakat ini pun
dikeluarkannya 2,5% setiap setahun sekali (setelah mencapai haul).
Baca Juga: Yuk Ketahui Perbedaan Zakat, Infak, dan Sedekah
Yuk,
Tunaikan Zakat Penghasilan Melalui Rumah Zakat!
Rumah Zakat adalah lembaga amil zakat
nasional milik masyarakat Indonesia yang mengelola zakat, infak, sedekah, serta
dana kemanusiaan lainnya. Selain itu, Rumah Zakat pun mengelola kurban dari
masyarakat dalam program Superqurban dan Desaku Berqurban.
Untuk zakat penghasilan melalui Rumah Zakat bisa
klik di sini.