Oleh Ustadz Kardita Kintabuwana, Lc., M.A.
Sahabat Zakat yang dirahmati Allah,
maskawin dalam bahasa arab disebut dengan “mahar” dan telah menjadi bahasa
Indonesia terpakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan maskawin atau
mahar itu dengan: “Pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.” Kata mahar dalam Al
Quran tidak ditemukan, yang digunakan adalah kata shadaqah, sebagaimana firman
Allah dalam QS. An-Nisa ayat 4: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka terimalah
dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
Para ulama berbeda pendapat tentang zakat maskawin
atau mahar: Pertama: Imam Abu Hanifah berpendapat pada prinsipnya mahar bagi
wanita tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena ia merupakan ganti dari sesuatu
yang bukan berbentuk harta. Kecuali kalau ia mencapai nishab dan haul (berlalu satu
tahun). Dan juga jika selain mahar itu ada harta lain, maka mahar yang
jumlahnya tidak mencapai nishab hendaklah digabung dengan harta yang lain dan
dikeluarkan zakatnya menurut perhitungan tahunnya.
Kedua: Imam Syafi’i berpendapat bahwa Wanita
itu wajib mengeluarkan zakat maharnya jika telah cukup haul (satu tahun),
sekalipun dia belum dicampuri (jima’) oleh suaminya, atau apakah mahar itu
mungkin gugur dikarenakan fasakh, murtad atau karena perceraian.
Ketiga: Golongan Hambali berpendapat mahar
itu wajib dikeluarkan zakatnya, tidak ada bedanya sebelum atau gugur disebabkan
terjadi perceraian sebelum campur. Maka wajib dikeluarkan zakatnya yang
diterimanya dan tidak wajib mengeluarkan zakatnya dari mahar yang tidak
diterima. (Fiqh Al Sunnah karya Sayyid Sabiq, jilid 1, hal. 476-477).
Jika diperhatikan dan difahami tiga pendapat
para ulama di atas, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya mahar itu wajib
dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nisabnya dan sudah cukup satu tahun
kepemilikannya, walaupun masing-masing dari para ulama tersebut tidak mengemukakan
alasannya secara detail. Tapi yang jelas mereka mengatakan kalau harta mahar
itu tidak cukup senisab, harus digabung dengan harta yang sudah ada agar cukup senishab.
Jadi zakat harta mahar disamakan dengan zakat harta lain.
Meskipun Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qardhawi
berbeda dalam cara pengeluarannya, yaitu dikeluarkan ketika seseorang
memperoleh mahar tersebut apabila sudah mencapai nisabnya. Beliau menjelaskan:
“Jika dilihat maskawin adalah berbentuk harta yang didapat tidak dengan usaha,
karena dia berbentuk harta perolehan, yaitu pemberian wajib oleh suami kepada
isterinya yang merupakan syarat sah nikah. Mengenai harta perolehan ini
dijelaskan bahwa kekayaan yang masuk ke dalam pemilikan seseorang yang
sebelumnya tidak ada. Seperti pemberian atau sejenisnya, wajib zakat begitu diperoleh
bila sampai senisab, dan ini tidak dipertentangkan apapun.” (Hukum Zakat, hal. 164).
Pada dasarnya sebagaimana pendapat para ulama
di atas bahwa harta maskawin apabila memenuhi persyaratan untuk zakat, wajib dikeluarkan
zakatnya. Maskawin banyak bentuknya, bisa dalam bentuk uang, emas, rumah,
mobil, dan sebagainya. Dengan demikian harta maskawin yang harus dikeluarkan
zakatnya bukan karena semata-mata maskawinnya yang harus dizakati, tetapi
karena maskawin tersebut merupakan sumber zakat yang harus dizakati, seperti
emas dan uang. Harta maskawin itu harus dikeluarkan zakatnya oleh yang
menerimanya, yaitu istri, dengan syarat dan ketentuan sebagaimana sumber zakat
lainnya. Karena maskawin itu sendiri adalah milik penuh bagi istri, maka
istrilah yang wajib mengeluarkan zakatnya.
Walaupun sebelum diberikan kepada istri
sudah dikeluarkan zakatnya oleh suami, itu berarti zakat harta suami. Sewaktu
diberikan kepada istri, harta tersebut berubah kepemilikan, menjadi hak milik penuh
istri.
Dengan demikian, harta maskawin wajib dizakatkan
apabila memenuhi syarat-syarat wajib zakat, dengan alasan :
• Karena maskawin tersebut merupakan pemberian
wajib oleh suami kepada istri diwaktu akad nikah, yang merupakan syarat sah
nikah, oleh sebab itu termasuk harta yang diperoleh dengan cara baik.
• Karena tidak ditemukan perbedaan pendapat
ulama, dengan arti kata tidak ada ulama yang mengemukakan pendapatnya bahwa harta
maskawin tidak wajib dizakatkan. Mengenai berapa nisab, presentasi, dan waktu mengeluarkan
zakatnya, dalam hal ini harus diketahui terlebih dahulu bentuk atau jenis harta
mas kawinny. Maskawin dalam jumlah besar mungkin saja terdiri dari beberapa
jenis harta benda. Oleh sebab itu cara mengitung nisab, persentase, dan waktu
mengeluarkan zakatnya terdapat perbedaan, karena tergantung kepada bentuk dan
jenis harta maskawin itu sendiri.
1. Kalau maskawin itu emas perhiasan, cara mengeluarkan
zakatnya sama dengan zakat perhiasan emas, yaitu tidak harus sampai senisab,
dan tidak harus menunggu satu tahun kepemilikan, dikeluarkan 2,5%.
2. Kalau maskawin itu emas yang bukan perhiasan,
atau uang tabungan, maka harus sampai senisab (85 gram) emas, dan sudah dimiliki
satu tahun hijriyah, zakatnya 2,5%.
3. Jika maskawin tersebut tidak berbentuk emas,
nilai hartanya cukup banyak, hal ini harus diteliti terlebih dahulu. Apakah harta
tersebut termasuk harta memenuhi kriteria wajib zakat atau tidak. Seperti rumah
atau mobil untuk dipakai sendiri, walaupun harganya lebih mahal dari senisab
emas, harta maskawin tersebut tidak wajib dizakatkan. Tetapi jika rumah dikontrakkan
dan mobil tersebut direntalkan, penghasilannya kalau sudah cukup senisab, dan
cukup satu tahun baru dikeluarkan zakatnya.
Wallahu a’lam bishshawwab