Oleh Ustadz Kardita Kintabuwana, Lc, M.A
Assalamu’alaikum, ustaz bagaimana Islam
memandang terhadap nyanyian atau musik?
Wa’alaikumsalam wr wb. Sahabat Zakat yang
dirahmati Allah swt, perlu kita ketahui bahwa masalah nyanyian dan musik
sebenarnya bukanlah masalah baru. Hal ini memang cukup pelik, disebabkan
beberapa dalil yang mengharamkan nyanyian dan musik lebih kurang sama banyaknya
dengan dalil yang membolehkan musik dan nyanyian itu. Walaupun masalah ini
cukup rumit, ada beberapa titik temu antara dua pendapat yang membolehkan dan
yang mengharamkan, yaitu:
1. Mereka sepakat mengenai haramnya
nyanyian yang mengandung pornografi, kekejian, kefasikan, dan menyeret
seseorang kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika
memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang
jelek. Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang dari adab Islam adalah haram.
Apalagi jika diiringi dengan irama dan musik yang memiliki pengaruh kuat.
2. Mereka sepakat tentang bolehnya nyanyian
tanpa iringan alat musik dengan syair-syair yang berisi kalimat-kalimat yang
baik, juga pada waktu-waktu tertentu, seperti zikir mengingat kematian dan
lainnya.
3. Mereka sepakat tentang bolehnya nyanyian
diiringi dengan alat musik ‘daff’ (rebana) saja pada waktu-waktu tertentu,
seperti hari raya dan resepsi pernikahan.
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qardhowi
cenderung berpendapat bahwa nyanyian dan musik adalah halal selama tidak
menyimpang dari adab Islam, karena asal segala sesuatu adalah halal selama
tidak ada nash sahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang
mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak sahih,
atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah sebagai berikut: Pertama,
firman Allah swt: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan”. (QS.Luqman: 6). Ayat ini dijadikan dalil
oleh sebagian sahabat dan tabi’in untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka
ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia
berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa
segi:
1. Tidak ada hujjah bagi seseorang selain
Rasulullah Saw.
2. Pendapat ini telah ditentang oleh
sebagian sahabat dan tabi’in yang lain.
3. Sesungguhnya keterangan ayat itu sendiri
membatalkan hujjah mereka, karena di dalam ayat tersebut terdapat sifat orang
berbuat demikian maka kafir tanpa khilaf, yakni apabila menjadikan jalan Allah
sebagai pelecehan.
Kedua, firman Allah SWT: “Dan apabila
mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling dari
padanya.” (QS. Al Qashash: 55)
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk
mengharamkan nyanyian tidaklah tepat karena kata “Al Laghwu” seperti kata “Al
Baathil” yang berarti tidak berguna. Dan
mendengarkan apa- apa yang tidak berguna itu tidak haram selama tidak
menelantarkan hak atau melalaikan yang wajib.
Adapun hadits-hadits yang dijadikan
landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak
ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya)
maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan
di dalam kitabnya Al Hakam: “Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya.”
Demikian juga yang dikatakan Imam Al
Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Semua riwayat
mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu.”
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya
telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal.
Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang
menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim
bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi Saw., ketika
itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar
menghardiknya seraya berkata: “Apakah pantas ada seruling setan di rumah
Rasulullah?” Kemudian Rasulullah Saw. menimpali: “Biarkanlah mereka, wahai Abu
Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.”
Makna hadits itu menerangkan bahwa tidak
ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Di sini kita bisa mengutip
kata-kata Ibnu Hazm di dalam kitabnya “Al Muhalla” sebagai sanggahan terhadap
orang-orang yang melarang nyanyian dan musik. Beliau mengatakan, “Mereka yang
mengharamkan menyanyi itu berhujjah dan mengatakan, ‘Apakah menyanyi itu
sesuatu yang haq atau tidak’, tidak perlu pendapat yang ketiga, yang jelas
Allah SWT sendiri mengatakan:“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan
kesesatan” (QS.Yunus: 32). Maka jawaban kita, sesungguhnya Rasulullah Saw
bersabda, “Sesungguhnya diterimanya segala amal perbuatan itu tergantung pada
niatnya, dan sesungguhnya setiap (amal) seseorang tergantung pada niatnya …”
(HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Maka barang siapa yang mendengarkan lagu-
lagu untuk membantu dia bermaksiat kepada Allah, maka dia fasiq. Demikian juga
terjadi pada selain lagu-lagu. Tetapi barangsiapa yang dengan lagu itu dia
berniat untuk menghibur dirinya dan untuk memperkuat taatnya kepada Allah dan
dengan lagu-lagu itu ia bersemangat untuk berbuat kebajikan maka ia termasuk
berbuat ketaatan dan kebaikan, dan perbuatannya termasuk barang haq.
Mudah-mudahan penjelasannya bermanfaat.
Wallahu a’lam bishshawwab