Ustadz apakah boleh menginvestasikan dana zakat? Mohon penjelasannya.
Jazakallah kairan katsiran.
Afnan, Cimahi
Jawaban:
Investasi adalah suatu upaya yang bernilai bisnis dalam meraih keuntungan berlipat ganda. Investasi dikenal dalam istilah ekonomi syariah modern dengan sebutan al-istitsmar yang secara bahasa berarti upaya mendapatkan keuntungan. Dalam menafsirkan ayat “Dan janganlah kalian berikan harta kalian kepada orang-orang bodoh (safih) padahal hal itu menjadi bekal bagi kalian..”(QS : an-Nissa: 5).
Al-Zamaksyari dalam al-Kasysyaf menyatakan, “Yang dimaksud orang-orang bodoh adalah orang-orang yang suka memboroskan harta tidak secara tepat atau oran-orang yang tidak mampu menginvestasikannya secara profesional untuk meraih keuntungan” (Tafsir al-Kasysyaf juz I h. 500).
Dalam khzanah ilmu ekonomi kontemporer, investasi didefinisikan sebagai sebuah keterikatan finansial dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang prediksional di masa mendatang dalam jangka panjang di saat yang akan datang pula (Dr Said al-Harawy, al-istitsmar wa al-Tamwil h. 35).
Investasi dana zakat terjadi baik bagi para mustahik yang telah mendapatkan asnaf-nya, pemilik yang telah wajib mengeluarkan zakat atau imam atau yang mewakilinya sebagai pengelola penghimpunan dana zakat. Para fuqaha membolehkan adanya investasi harta yang diperoleh para mustahik karena hal itu telah menjadi milik yang sempurna. Kalangan ulama Syafiyyah dan Imam Ahmad membolehkan pengalokasian bagian harta fakir dan miskin untuk diinvestasikan selama pengelola investasinya tersebut sangat profesional. Semakin banyak keuntungan dari investai terkait, maka akan semakin menyejahterakan para fakir dan miskin.
Bagaimana jika investasi dilakukan oleh calon muzakki? Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum dasar dari membayar zakat adalah bersegera (fauriyyah), bukan bisa ditangguhkan (al-Tarakhi). Karenanya menunda-nunda pembayaran zakat oleh calon muzakki itu tidak diperbolehkan, termasuk dengan cara investasi sekalipun. Hanya sebagian kecil ulama semisal al-Jassas yang menyatakan bahwa hukum dasar membayar zakat bersifat mutlak sehingga tidak ditentukan kapan dan tempat penunaiannya itu. Karena bersifat mutlak, maka bolehlah muzzaki menangguhkannya dalam tempo yang diperbolehkan.
Bagaimana hukum investasi zakat yang sudah di tangan imam atau yang mewakilinya? Sebagian ulama semisal Wahbah Zuhaily, Abdullah Nashih Ulwan, Muhamad Atha’ al-Sayyid dan Syekh Taqy Utsmany menyatakan keharaman investasi dana zakat. Argumen kelompok ini sebagai berikut. Pertama, Investasi dana zakat dalam bentuk apapun menangguhkan sampainya pembagian harta kepada yang berhaknya, padahal pembayaran zakat itu sendiri harus fauriyyah. Kedua, Investasi dana zakat dalam bentuk apapaun mengancam adanya kerugian atau kerusakan karena bisnis hanya akan mengenal satu dari dua kemungkinan, untung atau merugi. Ketiga, Investasi dana zakat dalam bentuk apapun akan menyedot dana operasional lebih banyak dari dana zakat terkumpul itu sendiri. Keempat, Investasi dana zakat dalam bentuk apapun menyebabkan hilangnya kepemilikan harta secara personal karena semua dana hak asnaf berupa kepemilikan kolektif. Ini tentu bertentangan dengan pendapat jumhur fuqaha yang menyaratkan adanya kepemilikan harta yang sempurna bagi mustahik saat pembayaran zakat. Kelima, Peran imam atau yang mewakilinya hanyalah kolektor, bukan manager pengelolaan.
Sementara menurut jumhur ulama semisal Yusuf Qaradawi, Abdul Fattah Abu Guddah, Abdul Aziz Khayyath, Abdus Salam Ibady, Muhamad Salih, Mustafa Al-Zarqa dan Hasan Abdullah al-Amin, hukum menginvestasikan dana zakat adalah halal.
Yusuf Al-Qardawi berpendapat, “Berdasarkan madzhab yang paling sahih, bisa dikatakan bahwa lembaga zakat boleh menginvestasikan dana zakat yang diterima secara melimpah dalam bentuk apapun seperti ruko dan yang sejenisnya. Hasil yang didapat dari investasi tersebut bisa disalurkan kepada para mustahik secara periodik. Bentuk investasi dana zakat itu tidak boleh dijual dan dialihkan kepemilikannya sehingga menjadi bentuk setengah wakaf” (Yusuf Qardawi, Atsar al-Zakat lil afrad wa al-mujtamaat, paper dalam seminar Zakat I tahun 1984).
Menurut jumhur, alasan pembolehan investasi dana zakat ini adalah sebagai berikut. Pertama, Nabi dan para khulafaur rasyidin pernah menginvestasikan dana-dana zakat berupa onta dan kambing. Berdasarkan riwayat Anas bin Malik, Nabi pernah meminum susu dari hewan-hewan ternak zakat di Madinah yang kesemuanya itu ditempatkan di tempat peternakan khusus dengan diurus para pengeggemba yang digaji sehingga peternakan tersebut menghasilkan pengembangan ternak secara signifikan (HR Bukhari). Pendapat yang mengatakan bahwa pembayaran zakat itu harus segera, itu berlaku bagi muzakki, bukan imam atau lembaga pengelolanya.
Kedua, Perluasan arti “fi sabilillah” yang diartikan segala bentuk kebaikan seperti membangun benteng, merenovasi masjid, membangun pabrik dan lain-lain seperti yang dinukil al-Razy dalam tafsirnya (Juz 16 h. 115).
Jika pengalokasian dana zakat dalam bentuk kebaikan apapun, maka investasi dalam bentuk perdagangan dan pabrik tentu lebih utama karena bisa mendatangkan keuntungan bagi para mustahik itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh pendapat al-Nawawi yang menyatakan bahwa imam boleh menyalurkan dana zakat secara langsung atau tidak langsung melalui penyewaan atau investasi bentuk apapun (Al-Nawawi, al-Majmu jilid 6 h. 160).
Ketiga, hadits-hadits tentang anjuran bekerja dan menginvestasikan property apapun yang dimiliki seseorang, seperti dalam hadits riwayat Anas dalam sunan Abu Daud.
Keempat, mengqiyaskan kepada bolehnya menginvestasikan harta anak yatim oleh para walinya, sebagaimana sabda nabi,”Carilah keuntungan dari harta anak yatim yang tidak akan ada kewajiban sedekah atasnya”. (HR al-Baihaqi).
Kelima, berpijak pada konsep istihsan, maka kendati secara eksplisit tidak ditemukan anjuran investasi secara langsung, tetapi adanya situasi dan kebutuhan modern saat ini, maka investasi dana zakat ini sangat bermanfaat terutama bagi para mutshik. Nampak sekali adanya aspek kemaslahatan yang besar jika dana zakat bisa dikelola melalui investasi yang cerdas.
Wallahu a’lam bi ash-shawab