HUKUM MENGGUNAKAN MASKER MUKA YANG TIDAK ADA LABEL HALALNYA

oleh | Jun 9, 2023 | Qurban

Oleh: Kardita Kintabuwana, Lc., M.A.

Sobat Zakat, setiap muslim diperintahkan
untuk menggunakan (mengkonsumsi) produk yang halalan thoyibban (halal lagi
baik). Seperti dalam surat Al-Baqarah:168 “Hai sekalian manusia! Makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.”

Ayat ini tidak hanya melulu berbicara soal
makanan dan minuman saja, akan tetapi berbicara tentang produk-produk lain yang
biasa digunakan oleh manusia dalam kesahariannya, diantaranya adalah masalah
kosmetik.

Tentu saja setiap produk yang sudah
mendapatkan label sertifikasi halal lebih menenangkan dan menentramkan kepada
setiap muslim untuk mengunakannya karena sudah melalui proses observasi dan
penelitian yang seksama yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang yang
menjamin tentang kehalalannya.

Baca juga: Qurban Wujud Cinta

Secara umum, sekurang-kurangnya ada dua
kaidah yang menjadi acuan dalam menetapkan kehalalan sesuatu. Diantaranya
kaidah yang berbunyi “Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum
asal sesuatu yang berbahaya adalah haram.” Kaidah lainnya, yaitu “(Hukum)
segala sesuatu tergantung kepada tujuannya.” Kaidah inilah diantaranya yang
menjadi rujukan fatwa MUI dalam penggunaan kosmetik. Berikut adalah ketentuan
penggunaan kosmetik dan rekomendasi penggunaan kosmetik berdasarkan fatwa MUI:

1. Penggunaan kosmetika untuk kepentingan
berhias hukumnya boleh dengan syarat: bahan yang digunakan adalah halal dan
suci, ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i; dan tidak
membahayakan.

2. Penggunaan kosmetika dalam (untuk
dikonsumsi atau masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau
haram hukumnya haram.

3. Penggunaan kosmetika luar (tidak masuk
ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi
dibolehkan dengan syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir
syar’i).

4. Penggunaan kosmetika yang semata-mata
berfungsi tahsiniyyat, tidak ada keringanan untuk memanfaatkan kosmetika yang
haram.

5. Penggunaan kosmetika yang berfungsi
sebagai obat memiliki ketentuan hukum sebagai obat, yang mengacu pada fatwa
terkait penggunaan obat-obatan.

6. Produk kosmetika yang mengandung bahan
yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan
gen babi atau gen manusia hukumnya haram.

7. Kosmetika yang menggunakan bahan (bahan
baku, bahan aktif, dan atau bahan tambahan) dari turunan hewan halal (berupa
lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara penyembelihannya hukumnya makruh
tahrim, sehingga harus dihindari.

8. Kosmetika yang menggunakan bahan dari
produk mikrobial yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari
babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian
bahannya.

MUI juga menyebutkan beberapa bahan atau
unsur yang termasuk najis dan meragukan. Unsur-unsur tersebut antara lain
sebagai berikut:

Unsur haram yang tidak boleh ada di dalam kosmetik:

1. Unsur dari babi dan anjing

2. Unsur hewan buas

3. Unsur tubuh manusia

4. Darah

5. Bangkai

6. Hewan halal yang penyembelihannya tidak sesuai
dengan syariat Islam

7. Khamr (alkohol)

 

Unsur syubhat (meragukan) yang harus diwaspadai:

1. Plasenta

2. Gliserin

3. Kolagen

4. Lactic Acid

5. Hormon Vitamin

6. Aneka pewarna, pewangi dan lain-lain

Dari ketentuan di atas kita bisa menetapkan
apakah suatu jenis kosmetik seperti masker wajah dihalalkan atau tidak? Adapun
yang berkaitan dengan penggunaan alkohol dalam masker wajah secara khusus atau
jenis kosmetik lain pada umumnya, maka dalam hal ini para ulama fiqih berbeda
pendapat.

Ulama fiqih yang mengharamkannya mengatakan
bahwa penggunaan kosmetika berbahan alcohol sama hukumnya dengan mengkonsumsi
khamr, karena alkohol termasuk dari definisi khamr tersebut. Hal tersebut
disebabkan karena 60% dari kosmetika yang dipakai di tubuh akan diserap kulit dan
masuk ke dalam pembuluh darah dan akan diserap oleh tubuh. Pendapat yang
mengharamkan penggunaan kosmetika berbahan alkohol tersebut berpatokan pada
hadist Rasulullah SAW, “Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya
haram.” (HR. Muslim).

Sebagian ulama fiqih lainnya menghalalkan penggunaan
kosmetika yang mengandung alkohol karena alkohol tidak termasuk dalam katagori
benda najis zatnya yang disebutkan dalam Al Quran. Terlebih lagi derivat
alkohol, yaitu etanol yang dipergunakan dalam kosmetik berbeda dengan yang
digunakan dalam

pembuatan khamr. Keduanya pun mempunyai rumus
kimia yang berbeda walaupun berasal dari derivat yang sama. Alkohol dalam
kosmetika yang diharamkan hanyalah alkohol jenis ethyl alcohol (etanol dan
methylated spirit). Sedangkan alkohol berjenis cetyl alcohol dan cetearyl alcohol
dikategorikan halal. Jenis alkohol ini berbentuk padat sehingga tak dapat
diminum dan diserap oleh kulit. Jenis alkohol ini banyak digunakan pada
kosmetik dan skin care. Cetearyl alcohol sejatinya bukanlah benar-benar
alkohol, melainkan merupakan lilin (wax) yang teremulsi yang dibuat dari
tumbuhan.

Kehati-hatian dalam penggunaan masker wajah
yang belum berlabel halal sesuatu yang harus kita perhatikan dengan seksama
agar kita tidak terjerumus kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, yang
akan mendatangkan keburukan dan marabahaya dalam hidup kita.

Wallahu a’lam.

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0